Judul di atas tentu berbeda satu huruf dengan istilah yang sering didengar di masyakarat. Apalagi dulu jaman orde baru, Pak Harto suka sekali. Mikul Dhuwur (Jawa) dapat diterjemahkan memikul, mengangkat yang tinggi. Mendhem Jero (dh), ini diterjemahkan menjadi mengubur yang dalam. Istilah ini sering diterapkan untuk menyikapi terhadap orang-orang yang sudah meninggal. Kita diharapkan dapat mengangkat nama baik almarhum setinggi-tingginya, di sisi lain harus mengubur, menyimpan aibnya. Sikap bijak, tidak menjadikan aib almarhum selama hidup sebagai bahan gunjingan yang berakibat pada buruknya nama almarhum.
Namun, satu huruf berbeda antara dh dan d, yang diterapkan pada kata Mendhem dan berubah Mendem, bisa berarti lain dan jauh sekali dari pengertian dan maksud yang pertama tadi dijelaskan. Kalimatnya menjadi, Mikul Dhuwur, Mendem Jero. Mengangkat yang tinggi, dan mabuk berat (dalam).
Kalimat ini lebih pas ditujukan pada sikap-sikap menjilat, memuji atasan atau orang lain, sehingga membuat mabok kepayang bagi atasan. Kemudian hubungan demikian dilanjutkan terus menerus, akibatnya yang memujipun ikut mabok dalam model hubungan seperti itu, jilat-menjilat.
Di segala zaman model pelaku jilat-menjilat pasti ada. Dan saya atau anda bisa menjadi modelnya. Tetapi, alangkah eloknya, jika kelak kita memperlakukan kepada mereka yang suka jilat-menjilat itu tetap diperlakukan Mikul Dhuwur, Mendhem Jero. Sehingga kita tidak terjebak menjadi pemakan bangkai saudara, tidak sekedar penjilat.