Ka’bah yang berada di Mekkah adalah rumah suci, pusat peribadatan manusia. Dan Ka’bah adalah rumah (ibadah) yang mula-mula dibangun untuk manusia. Demikianlah penegasan Allah kepada kita dalam Al Qur’an. Sepanjang sejarah, melalui para nabinya Allah tunjukkan kuasa pembuktian atas penegasannya. Sepenggal kisah dari Nabi Ibrahim dan Ismail adalah wujud kuasa Allah menjaga keberadaan rumah suci tersebut.
Rasulullah, Muhammad SAW, lahir di Mekkah, sebagai penduduk Mekkah. Utusan akhir zaman yang merupakan akhir dari risalah para nabi-nabi dan rasul sebelumnya. Tentu posisi Mekkah (dan Ka’bah di dalamnya) menjadi hal penting. Penguasaan kota Mekkah akan menjadi wujud simbolik atas keberhasilan dakwah Islam Rasulullah mengembalikan Ka’bah sebagai rumah suci, pusat peribadatan manusia. Namun apa yang terjadi? Meski sebagai orang Mekkah, keturunan penjaga Ka’bah, ternyata menguasai Mekkah tidaklah mudah. Kesulitan dan hambatan selalu menghadang. Selama 13 tahun dakwah di Mekkah, tidak jua membawa hasil signifikan.
Perintah Hijrah ke Madinah, sebuah daerah yang jauh di luar Mekkah, tentu akan dipahami sebagai bentuk kekalahan untuk upaya menguasai Mekkah. Demikian pula, keberhasilan penguasaan Mekkah bisa jadi dipahami semakin menjauh dari upaya mengembalikan posisi Ka’bah dalam kerangka kerasulan. Tetapi apa yang terjadi? Allah menakdirkan, melalui Hijrah itu pada akhirnya Mekkah bisa ditundukkan (Fathul Makkah), benar-benar melalui proses yang elegan, damai dan mencerahkan.
Di saat Rasulullah dan umat Islam waktu itu, berkonsentrasi membangun komunitas peradaban baru di Madinah, Allah sekali lagi menunjukkan kuasanya untuk menundukkan Mekkah bagi umat Islam. Ini seperti yang terjadi pada peristiwa serangan Raja Abrahah terhadap Mekkah menjelang kelahiran Rasulullah saw. Jika dalam peristiwa perang gajah tersebut Mukjizat yang menakjuban digunakan Allah, maka melalui Hijrah menunjukkan bahwa antara takdir Allah dan usaha manusia bisa bertemu pada titik yang sama. Upaya Hijrah atas perintah Allah juga dikendalikan Allah, tetapi manusia berperan penting dalam prosesnya. Sementara penundukkan Mekkah (Fathul Makkah) seolah menjadi hadiah, atas kesungguhan manusia dalam membangun strategi. Hijrah ke Madinah adalah sebuah strategi yang tidak langsung menuju target utama atau jantung persoalan. Pergi ke Madinah adalah mencari sahabat yang sejalan, menemukan area perjuangan yang tepat.
Maka, Allah lah yang akan menentukan hasil dari upaya manusia, akan memberikan hadiah yang tak terduga atas jerih payahnya. Bisa jadi apa yang dilakukan tidak secara langsung berhubungan dengan target yang diharapkan, tetapi upaya tersebut masih relevan dengan apa yang dicitakan.
Ibarat makan bubur, maka anda jangan memulai dari tengahnya. Karena yang tengah tentu paling panas. Maka mulailah dari yang pinggir. Anda tidak perlu memulai dari ide-ide besar atau mengejar hal-hal besar, tetapi menyelesaikan hal-hal kecil akan mengantar anda pada takdir yang besar. Tetapi, mengenal hal-hal kecil tidaklah mudah. Butuh ketelitian dan ketelatenan.
Itulah hikmah yang bisa dipetik dari hijrah Rasulullah saw. ke Madinah.
Selamat Tahun Baru 1435 Hijriyah