Sebuah pertanyaan yang sederhana, namun tidak mudah untuk menjawabnya, apalagi sebuah jawaban yang serius, dan keluar dari kedalaman keyakinan hati.
Sebagai generasi yang lahir tahun-70an, rasanya kurang pas untuk menjawab itu dengan jawaban yang benar-benar meyakinkan. Masa saya sudah jauh dari masa perjuangan kemerdekaan. Tapi saya bersyukur, saat saya tumbuh menjadi pemuda, berkesempatan menyaksikan bagaimana Nahdhatul Ulama (NU), yang di dalamnya diiringi dinamika, perdebatan dan konflik, toh akhirnya bisa menerima Pancasila sebagai asas organisasi satu-satunya.
Mengapa saya (bisa) menerima Pancasila? Maka saya harus mampu mengidentifikasi diri terlebih dahulu. Ketika itu dapat kulakukan, maka segala atribut yang datang dari luar, akan mudah untuk diseleksi. Mengenal diri sendiri, diutamakan sebelum menentukan pilihan untuk lainnya.
Saya lahir dan hidup di Indonesia. Leluhur saya adalah orang-orang Indonesia. Semuanya makan dan minum di tanah air Indonesia. Kemerdekaan Indonesia tidak mudah diperolehnya. Melalui proses panjang dan melelahkan, merenggut nyawa para pejuang, dan mereka adalah saudara saya semua. Menghirup udara yang sama. Kesadaran dalam konteks sebuah bangsa, Indonesia, maka saya adalah bagian dari itu semua. Bagian dari sejarah panjang bangsa. Keberadaan saya di saat ini adalah bagian dari konstruksi apa yang sudah diperjuangkan jauh sebelum saya ada. Sekarangpun, saya sedang memperjuangkan sebuah konstruksi bangsa yang tetap Indonesia buat anak cucu saya kelak bersama saudara-saudara yang lainnya.
Pancasila merupakan falsafah bangsa, dasar negara Indonesia. Pilihan pada Pancasila bukanlah sebuah pilihan seperti menghitung kancing baju atau menebak bunyi tokek. Melibatkan pemikiran dan usaha keras dari para tokoh bangsa yang sudah jelas-jelas membuktikan darma baktinya kepada bangsa Indonesia.
Alasan inilah yang pertama kali menyadarkan saya untuk menerima Pancasila. Sebagai bentuk rasa syukur untuk menghargai jerih payah para pendahulu. Sederhana sekali, sebagai bentuk rasa terima kasih kepada mereka yang sudah menumpakan darahnya dan segala upayanya untuk keberadaan saya saat ini. Alasan ini tentu seperti syukur yang membabi buta, tanpa melihat layakkah Pancasila sebagai falsafah hidup dalam bermasayarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia.
Bersyukur dulu itu lebih baik. Persoalan kemudian tidak cocok, maka bagaimana mencari alasan yang layak untuk diperjuangkan. Adakah alasan untuk menggantikan Pancasila?
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebagai orang Islam, tidak ada yang perlu dipersoalkan pada sila ini. Agama saya adalah Islam, tentu dituntut berpikir, bertindak dalam hidup yang dilandasi oleh keIslaman. Maka ketika saya bernegara, berbangsa dan dituntut untuk berKetuhanan Yang Maha Esa, sudah klop. Keimanan, kepada Tuhan Yang Esa, AHAD, Qul Huwallahu Ahad, sudah sejalan. Dalam konteks ini, sesungguhnya dengan menerima Pancasila, saya dintuntut menjadi manusia yang benar-benar beriman dalam bentuk berkehidupan yang berperikemanusiaan, bersatu dalam kebangsaan, bermusyawarah mencapai hikmah dan berkeadilan sosial. Itulah syariat Islam yang saya pahami dengan ungkapan bahasa manusia Indonesia. Untuk urusan sholat, berpuasa dan sejenisnya asal tidak dicampuri dan bisa dengan nyaman menjalankannya maka sudah nyamanlah saya menjalankan keberIslaman saya di Indonesia. Jadi alasan yang kedua adalah, ada kenyamanan dalam keberagamaan. Di sisi lain, tuntutan beragama yang baik menjadi bagian tak terpisahkan dalam konteks kebangsaan.
Dalam pengertian ini, sebenarnya saya bisa saja memaksa kepada kelompok agama-agama lain yang berbeda konsep ESAnya. Mendasarkan sila pertama Pancasila, maka seluruh agama yang tidak bisa membuktikan keESAan Tuhan, tidak layak hidup dan berkembang di Indonesia. Tetapi apakah seperti layak dilakukan?, maka dengan mendasari alasan pertama tadi, tidak ada alasan saya untuk memaksa orang lain yang berbeda dengan saya dalam pemahaman keESAan. Mengapa? Berarti saya tidak berterima kasih kepada mereka yang tidak seagama dan sepemahan dengan saya yang telah ikut mendirikan dan membangun bangsa ini. Itu pula berarti saya melanggar sila ketiga, bersatu dalam kebangsaan. Apalagi rumitnya pembuktian KeESAan yang bisa diterima oleh semua pihak dan tunggal dalam pemahaman. Itu jelas sulit dan mustahil didapatkan. Wong jelas-jelas berbeda. Maka, karena itu perwujudan itulah yang menjadi ukuran penting dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sila kedua sampai kelima, bisa kita diskusikan dan perdebatkan dalam pengejawantahannya.
Meski akan banyak alasan yang bisa diajukan, namun dua alasan sudah cukup buata saya untuk bisa menerima Pancasila sebagai falsafah dalam kehidupan berbangsa Indonesia.
Surabaya, 30 September 2012
23.25 = memperingati Hari Kesaktian Pancasila