Kupat Mbah Munir (Cerpen)

Kupat Mbah Munir

Tema yang paling tepat untuk disampaikan pada pertemuan besok adalah soal ketupat.Kupat. Apalagi ini momennya pas lebaran. Ya sudah. Satu tema ketupat untuk berbagai pertemuan dengan kelompok masyarakat. Sebagai pejabat negara, sebagai bupati aku bisa menjadikan kupat dalam kerangka kebangsaan. Kupat kebangsaan. Masih segar ingatan para pejabat yang besok hadir dalam pertemuan. Tentu mereka akan sepakat denganku, bahwa kupat dengan sudut empat merupakan simbol empat pilar kebangsaan.

Jauh sebelum negeri ini berdiri, para leluhur kita membekali kita makanan yang sarat makna filosofis. Sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan bersamaan bulan Ramadhan. Dulu pun masayrakat menyabut kemerdekaan tersebut dengan makanan kupat. Boleh tidak ada lepet, tapi kupat harus ada. Bangsa ini boleh tidak memiliki pesawat tempur canggih, tapi tidak boleh kehilangan salah satu dari empat pilar.


Demikianlah aku berpidato dan menjelaskan filosofi kupat kepada para kepala dinas, satuan kerja perangkat daerah dan tamu undangan di pendopo kabupaten. Sebagai pejabat pemerintah, mereka semua harus paham betul dan turut serta menjaga keutuhan empat pilar tersebut. Tidak boleh lengah sedikitpun.

“Pak, maaf menganggu”, tiba-tiba suara Yanto, dulu teman sekolah SMAku yang serakang kepala dinas sosial.

Ono opo mas..” sahutku.

“Pidatone pancen jos, mas. Njenengan bisa menyampaikan soal empat pilar melalui budaya. Pas lebaran lagi”.

“Dari dulu, aku itu kan selalu berusaha belajar dari sekitar to, Yan. Kamu masih ingat? Waktu kamu dan teman-teman lain membuat prakarya dulu di sekolah. Aku menggunakan bekas sandal jepit.”

“Ya, aku masih ingat mas. Tapi, njenengan apa tidak tahu. Kalau empat pilar sekarang sedang digugat dan dikritik. Harusnya pancasila tidak termasuk satu pilarnya”

“Ah...sak karep mas. Mau digugat, disidangkan, dikritik. Pokoknya ya kupat. Kudu papat. Mau isinya diganti-ganti yo sak karep”.

==

Kali ini dihadapan para tokoh agama, kalangan pesantren dan tokoh masyarakat. Aku masih tetap menggunakan kupat sebagai bahan pembicaraan.

“Hadirin sekalian, Sunan Kalijaga dulu, juga memanfaatkan momen hari raya idul fitri dan hari raya syawal untuk memberi pengajaran melalui kupat. Jadi Kupat menjadi simbol utama pada hari raya tersebut”, begitulah aku membangun pikiran orang-orang yang hadir melalui sosok Sunan Kalijaga. Entah itu memang benar atau tidak, tapi aku yakin bahwa sosok itu bisa diterima oleh masyarakat umum.

Kupat adalah simbol mengakui kesalahan (mengaku lepat). Di hari raya, kita semua saling meminta dan memberi maaf kepada sesama. Kesalahan-kesalahan di masa lalu bisa terhapus. Ini semakin menyempurnakan ibadah puasa yang sudah dijalani selama sebulan. Idul fitri sebagai penghujung, merupakan tanda berakhirnya proses puasa. Semua keprihatinan, jerih payah dan kecapekan tlah terlewati, sudah lebar. Kemudian dari proses ini, mampu memberi, melimpahkan maaf dan kebaikan kepada sesama. Itu lah luber. Semuanya saling memberi dan melimpahkan kebaikan, semua menjadi melebur, menyatu dan melebur keburukan dan dosa-dosa. Betapa indah kehidupan semacam itu. Layaknya seperti penghias. Kebaikan yang melimpah merupakan penghias (labur) dalam kehidupan manusia.

“Pak Bupati, sangat pas yang Bapak sampaikan”, kata Ustad Ghonim saat makan bersama usai acara.

“Betul itu pak”, timpal Pak RT,”jarang pejabat yang mau menggali nilai-nilai budaya atau tradisi. Apalagi jaman sekarang, semua pejabat lebih bangga pada kemajuan negara-negara lain”.

Aku hanya manggut-manggut dan senyum. Tidak berani menjawab. Bisa-bisa lebih banyak perdebatan yang muncul nantinya. Lebih aman, begitu saja. Konsentrasi menikmati suguhan kupat sayurnya.

==

“Bapak tidak berangkat ke balai desa?”, tanya istriku. Aku tidak mengerti. Balai desa. Ada acara apa ya.

“Kan warga desa malam ini mengadakan acara bersih desa, pak. Mereka kumpul di balai, sekalian katanya acara halal bi halal”.

“Oo, acara itu, bu.”, sahutku, baru ingat sekarang. Seminggu yang lalu aku menitipkan uang untuk kepentingan acara tersebut.

“Malam ini aku janjian sama orang Jakarta, Bu. Investor besar yang rencananya mau nanam investasinya di daerah kita”, jawabku.

“Ini pak, tadi kita dikirimi makanan. Kupat” kata istriku, sambil menyodorkan kiriman yang masih utuh.

“Bu..! ini siapa yang ngasih?, kok seperti ini? Masak ada ketupat dari plastik? Ujungnya kok sudah dipotong?, apa Ibu yang memotongnya?”, dengan agak marah aku bertanya pada istriku.

“Tidak kok, pak. Dari tadi saya tidak buka sama sekali.”, jawab istriku.

“Baiklah, besok akan kuselesaikan ini”, gamamku.

“Assalamu alaikum, mbah”, aku menghampiri rumah Mbah Munir. Ia sesepuh desa yang selama ini aku kagumi. Bahkan, tanpa dukungan beliau, belum tentu aku bisa jadi seperti ini, bisa jadi Bupati.

“Waalaikum salam..wah Pak Bupati...mari-mari pak,” jawab Mbah Munir yang tetap saja menghormatiku, tetap saja menyebut jabatanku. Padahal aku ini dulu bisa dikatakan muridnya.

“Begini, mbah. Kemarin saya dapat kiriman makanan, tapi aneh mbah, kupatnya kok terbuat dari plastik, dan ujung-ujungya sudah dipotong, tidak lancip. Jadi sudah bukan kupat lagi,” dengan agak jengkel aku sampaikan unek-unekku.

“Saya tidak tahu, apakah semua warga sini dapat sama seperti saya?, tapi yang jelas saat acara bersih desa kemarin, aku dapat kupat yang sudah tidak jelas itu,” lanjutku.

“Mbah, jujur. Saya tersinggung, sebagai pejabat, sebagai tokoh masyarakat saya tersinggung dengan pemerian seperti ini. Apa susahnya membuat kupat dari janur?, kan saya juga nyumbang?”, semakin kesal aku.

“Sabar to Nak,” demikian Mbah Munir menahan emosiku. Cukup ampuh juga sebutan Nak untuk meredamnya. Sudah lama aku tidak mendengar sapaan itu dari Mbah Munir.

“Nak Bupati, apakah nanda selama ini sadar dengan penilaian, harapan dan kangennya warga terhadap Bapak?”, wajah serius seperti ini sudah biasa. Pasti akan ada sesuatu yang disampaikan. Dan itu sangat penting.

“Tahukah, maksud plastik untuk pada kupat yang Bapak terima? Sebab semua sekarang sudah serba imitasi, seperti plastik. Kupat yang sejati terbuat dari Janur, Jatining Nur,hati nurani. Beras sebagai perlambang nafsu, keinginan, cita-cita dan kreativitas terbungkus oleh hati nurani. Semuanya sudah tak terkendali, tanpa nurani. Amarah dibakar dimana-mana, di masjid, vihara, kantor polisi, pasar dan sebagainya,” kalimat ini mulai menyerang jantungku.

“Apakah uang yang Bapak sumbangkan sudah menyelesaikan semuanya? Apakah gotong rotong, kerjasama dan kerukunan kita sebagai warga desa selama ini sudah cukup diganti dengan uang? Apakah sumbangan Bapak demikian sangat besar, sehingga tidak perlu berkumpul lagi? Ataukah Bapak sedang terkena musibah?,” sungguh ini sangat menyakitkan.

“Bukan begitu, Mbah. Kemarin malam itu, saya ada janji bertemu investor dari Jakarta,” aku berusaha memberi penjelasan.

“Nah, klop kan. Uang. Demi Uang. Apakah invetasi yang Bapak harapkan juga pasti menjamin kesejahteraan warga?”, semakin tegas Mbah Munir seolah semakin menekan batinku.

“Budi pekerti, hati nurani sudah tidak dijadikan pedoman. Itulah ketupat yang sudah bocor di setiap ujungnya. Yang terlihat hanya nafsu, angan-angan dan harapan semata-mata,” batinku benar-benar diserang habis-habisan. Tapi aku masih berterima kasih, karena yang menyampaikan itu adalah Mbah Munir.

“Janur adalah daun muda”, lanjut Mbah Munir,  “janur juga melambangkan generasi muda. Bapak selama ini melupakan generasi muda, generasi mendatang, harusnya pembangunan yang dilakukan saat ini selalu diorientasikan ke masa depan, yang memperhatikan generasi muda saat ini. Bukankah, dalam pilkada lalu, merekalah yang menjadi pemilih banyak Bapak?”

“Benar, Mbah.” Hanya itu yang bisa kusampaikan kepada Mbah Munir.