Kyai : Sebuah Relasi Agama dan Kekuasaan

Istilah Kyai, menurut pandangan saya merupakan sebuah sebutan yang mencerminkan adanya relasi kekuasaan/politik dan agama. Memahami Kyai sebagai tokoh agama, tidak bisa dilepaskan dan terpisah sama sekali dengan lingkaran kekuasaan. Sekulerisme yang absolut dalam hal ini tidak terjadi. Sebab keberadaan Kyai, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para elit bangsawan di pusaran kekuasaan.


Jika, priyayi adalah sebutan yang merujuk kepada mereka para bangsawan atau lingkaran kerajaan (kekuasaan), maka istilah Kyai juga mengarah kepada hal tersebut. Kata priyayi ada yang menjelaskan sebagai para yayi atau mereka adik-adik raja. Ada juga yang menyebutnya berakar kata priya atau laki-laki. Dus priyayi itu lebih maskulin. Bagaimana untuk yang perempuan, maka digunakan priyayi putri.


Sedangkan Kyai, menurut saya (menurut gothak-gathik-gathuk) saya diurai menjadi Ki Yayi. Ki sendiri berasal dari Kaki, yang berarti kakek atau orang yang sudah tua. Kemudian meluas, tidak hanya ukuran umur, tetapi sepuh dalam pengertian mempunyai kebijaksanaan yang luar biasa, mempunyai keilmuwan yang linuwih, mempunyai kehormatan yang tinggi.


Para tokoh wicaksana yang menjadi penasehat para raja atau priyayi kemudian disebut Kyai. Karena sebenarnya mereka adalah yayi yang lebih tua atau sepuh (jika hanya umur ada istilah raka dan yang muda rayi). Mereka adalah saudara atau orang dekat para raja, seperti para priyayi. Bahkan benda, hewan yang begitu dekat dengan raja yang memiliki kelebihan luar biasa kemudian disebut juga dengan Kyai, misalnya tombak Kyai Plered, kebo Kyai Slamet. Jangan membayangkan bahwa kelebihan itu harus berupa kesaktian atau kekuatan. Kebo Kyai Slamet itu kelebihan fisiknya saja sudah jelas luar biasa, bule. Itu tidak lumrah dan nganeh-anehi. Kyai dengan demikian menjadi elit kerajaan tetapi mempunyai basis legitimasi berbeda dengan priyayi.


Posisi dekat dengan kekuasaan atau kerajaan tidak menyenangkan bagi semua Kyai atau mereka yang disebut dengan Kyai. Mereka kemudian lebih mendekat kepada rakyat. Pergeseran posisi ini tidak begitu saja kemudian menghilangkan strata elit sebelumnya yang sudah disematkan. Mereka tetap elit, tetapi sudah berbeda peran dan perilaku, berbeda orientasi perjuangannya.


Maka, anda tidak perlu heran, jika membaca sejarah para Kyai di Jawa masa lalu, yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah kerajaan atau bangsawan di zamannya. Sebab mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari dinamika relasi agama dan kekuasaan.