Di kalangan kelompok masyarakat tertentu (seperti pesantren) istilah Yahannu sudah biasa digunakan dan akrab. Salah satunya adalah untuk mengungkapkan sikap kecerdikan atau kepura-puraan. Namun juga ada yang menyebut Yahannu sebagai sikap kepura-puraan. KH Hasyim Muzadi sendiri menggunakan istilah Yahannu untuk menggambarkan ruwetnya dalam perpolitikan. “Politik itu yahannu-nya banyak. Politik itu mbulet-mbuletnya banyak. Panggungnya banyak”. [1] Yahannu kemudian menjadi istilah yang mencerminkan sebuah sikap atau kondisi yang tidak baik.
Strategi Yahannu di tangan para kyai (KH A Wahid Hasyim)
Namun demikian, istilah Yahannu dapat dijadikan gambaran tentang gaya politik yang dilakukan oleh para kyai di saat-saat menghadapi situasi yang sangat ruwet bin mbulet dan berbahaya. Kedatangan Jepang, menggantikan Belanda di Indonesia ternyata jauh lebih kejam perlakuannya terhadap masyarakat. Pemerintah militer Jepang, tidak ragu-ragu menyiksa orang-orang yang dianggapnya membangkang, bahkan memenjarakannya jika yang bersangkutan termasuk tokoh masyarakat. Seperti yang dialami KH. M. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU, dan KH. Machfudz Siddik, seorang Ketua NU. Kedua tokoh ini diksiksa dan dijebloskan ke penjara Jombang selama empat bulan, hanya karena menolak mengikuti orang–orang Jepang, ber-saikere, memberi hormat kepada Tenno Haika, dengan cara membukuk, yang proposinya diyakini melanggar akidah Islam. Kendati pada akhirnya pemerintah Jepang mengoreksi kebijakan menyiksa orang–orang yang enggan ber-saikere, terbukti tidak lama kemudian budaya negeri matahari terbit itu dihapus, tetapi praktek kekejaman di awal kedatanganya itu, cukup membuktikan totaliterianismenya kekuasaan pemerintah militer Jepang. [2]
Situasi seperti itu tentu akan membahayakan bagi perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan, karena tindakan Jepang yang demikian kejam dan reaktif. Apa yang dialami oleh para kyai tersebut menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh lainnya untuk melakukan terobosan strategi politik di tengah ancaman bahaya dan harapan segera merdeka. Oleh karena itu sikap NU (tokoh-tokoh NU) kepada Jepang tidak sekeras terhadap Belanda, ketika menolak untuk duduk di Vloksraad (dewan perwakilan) bikinan pemerintah Hindia-Belanda. [3] Sikap seperti ini juga dilakukan oleh banyak organsasi perjuangan, dengan satu keyakinan dan harapan segera merdeka. Sikap atau strategi politik seperti itu disebut yahannu. [4]
Dengan sikap yahannu itulah kemudian, beberapa langkah penting serta manfaat yang diperoleh, antara lain :
1) Beberapa tokoh Islam kemudian diangkat Jepang menjadi anggota legislatif, Chuo Sangi-in. Posisi ini digunakan oleh KH A. Wahid Hasyim untuk menggalang kekuatan dengan kelompok-kelompok lain seperti Muhammadiyah.
2) Pada september 1943, NU dan Muhammadiyah Jepang mengizinkan dan mengakui aktifnya kembali NU dan Muhammadiyah.
Posisi strategis dan kerjasama NU dengan lembaga-lembaga lain itulah nantinya yang melahirkan Masyumi sebagai kekuatan politik umat Islam dalam melawan penjajahan Jepang.
3) Di saat Jepang mengumpulkan pemuda dan dilatih menjadi PETA (Pembela Tanah Air), maka KH A. Wahid Hasyim meminta Jepang untuk melatih para santri. Tentara santri inilah kemudian disebut sebagai Hizbullah dan Sabilillah. Namun, kekuatan tentara santri itu tidak boleh dikirim Jepang melawan sekutu dalam peperangan, namun sebagai cadangan saja.
Kelak strategi ini melahirkan para pejuang dan tentara muslim serta menjadi tulang punggung dalam perang Nopember 1945 di Surabaya.
4) Kelanjutan dari strategi yahannu adalah berhasilnya KH A Wahid Hasyim meyakinkan Jepang untuk mendirikan kantor urusan agama (Shumuka) di seluruh Indonesia. [5]
Melalui strategi yahannu, KH A Wahid Hasyim dan para ulama lainnya berhasil membangun kekuatan strategis, kekuatan tentara (Hizbullah dan Sabilillah), kekuatan politik (keanggotaan dewan perwakilan dan masyumi), kekuatan birokrasi (kantor urusan agama) dan terlibatnya para tokoh pesantren dalam gerakan menuju kemerdekaan. Keberhasilan ini pula yang mampu menekan pemerintah Jepang untuk segera menentukan nasib Indonesia (yang pada kemerdekaan itu dapat diraih oleh bangsa Indonesia sendiri). Bahkan atas masifnya gerakan umat Islam dalam percaturan politik dan pemerintahan tersebut telah mengundang perhatian dunia untuk turut serta menekan Jepang. Syeh Muhammad al Amin al Husaini, sebagai ketua Kongres Muslimin sedunia mengirim kawat teguran kepada Duta Besar Jepang di Jerman agar segera mengambil keputusan atas umat Islam di Indonesia. Tekanan internasional inilah termasuk mempunyai pengaruh signifikan atas janji yang kemudian disampaikan oleh Jepang atas kemerdekaan Indonesia.
Penutup
Yahannu, sebagai sikap cerdik, sikap yang terkesan pura-pura dalam rule of game politik saat Jepang ternyata telah menghasilkan banyak sekali manfaat bagi persiapan kemerdekaan Indonesia. Strategi yahannu dalam perpolitikan oleh KH A Wahid Hasyim menjadi strategi ampuh yang telah membawa manfaat besar bagi umat islam Indonesia dan perjuangan kemerdekaan Indonesia itu sendiri. Namun jika strategi yahannu itu hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan, maka tidak pantas menyebutnya sebagai strategi politik yahannu ala pesantren.
Wallahu ‘Alamu Bishshowab
Catatan Kaki :
[1] Tempo, 2004, “Hasyim Muzadi : Pasangan Manapun yang Menang, Selisihnya Tipis”, Rabu 25 Agustus 2004 (Tempo.co.id)
[2] Harry J. Benda, The Crescent and the rising Sun Indonesia; Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945, terjemahan Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya 1979 ), hal 155.
[4] KH Syaifuddin Zuhri,”Peranan NU dalam Pengembangan Islam dan Membela Tanah Air”, dalam Choirul Anam, 2010, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahlatul Ulama, Duta Aksara Mulia.