DIBALIK JATUHNYA GUS DUR : SUKSESI DENGAN KECACATAN

Pendahuluan

Sukurlah akhir-akhir ini muncul beberapa peristiwa yang menyangkut Gus Dur, khususnya seputar lengsernya dari Jabatan Presiden di tahun 2001. Selama ini banyak beredar persepsi dan itu sering dihembus-hembuskan bahwa : a) Gus Dur Lengser karena telah melanggar hukum, yaitu kasus penggelapan dana Yanatera Bulog dan Kasus Gratifikasi dari Sultan Brunai Darussalam, b) Gus Dur lengser karena telah mengeluarkan maklumat/dekrit tertanggal 22 Juli 2001 disimpulkan sebagai tindakan melawan negara dan mengancam kemanan dan ketertiban negara. Dua poin tersebut menjadi bahan sejarah masa kini, hingga kita semua menjadi tidak paham apa yang sesungguhnya terjadi. Tulisan ini mencoba menampilkan sudut pandang lain mengenai lengsernya Gus Dur.

Pansus Yang Cacat Sejak Lahir

Salah satu peristiwa yang dapat dijadikan pijakan kronologis jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan adalah adanya Pansus Buloggate dan Bruneigate tersebut. Dalam dasar pembentukannya, panitia khusus tersebut mencantumkan UU 6/1954 tentang pengaturan hak angket DPR sebagai pelaksanaan UUD Sementara 1950 (pasal 70). Melihat jenis aturan yang dijadikan dasar tersebut dapat dikatakan Pansus sudah cacat sejak lahirnya, karena UU tersebut menganut sistem pemerintahan parlementer dan saat itu (2001) sudah tidak berlaku lagi.

Jika toh kemudian UU tersebut masih diakui keabsahannya dalam masalah hak angket, maka ada beberapa kecacatan selama proses pansus, yaitu :

a)    Ketentuan pencatatan pada lembaran negara di saat pembentukan pansus, namun kenyataannya baru tiga bulan setelah bekerja dimasukkan dalam lembaran negara (pelanggaran Pasal 1 (2) UU UU 6/1954

b)    Pembiayaan pansus ditentukan melalui rapat pleno DPR sebagai mata anggaran DPR, namun selama proses berjalan tidak pernah ada anggaran resmi mengenai hal itu.

Demikian pula cacat itu juga berkaitan dengan Tata Tertib DPR, Menurut tata tertib ini, DPR juga melakukan pelanggaran. Pasal 153 ayat 1 berkenaan dengan penentuan biaya pansus, dan itu juga tidak dilakukan. Pelanggaran berat juga dilakukan oleh Pansus terhadap Tata Tertib DPR-RI. Menurut pasal 156 ayat 1, mengenai laporan tertulis dan berkala hasil pansus kepada pimpinan DPR, dibagi ke anggota dan disampaikan kepada presiden. Pelanggaran berat ini terjadi karena sampai selesainya laporan akhir, Pansus tidak pernah melaporkan kepada Pimpinan DPR ataupun kepada anggota, dan juga tidak pernah memberi laporan tertulis kepada Presiden.

Memorandum adalah Targetnya

Ketika proses penyelidikan dilakukan ternyata hasilnya tidak mempunyai dasar kuat atas kasus hukum Buloggate dan Brunaigate. Anehnya hasil pansus tersebut berubah menjadi memorandum kepada presiden. Padahal hasil pansus menunjukan bahwa, ternyata hanya 31,94% dari penyelidikan pansus yang berupa fakta. Sedang 37,50% masih berupa keterangan yang harus diverifikasi untuk bisa menjadi fakta, dan 31,94% sisanya berupa analisis dan kesimpulan,yang sama sekali bukan merupakan tugas dan wewenang Pansus.

Memorandum seakan-akan menjadi target awal sejak Pansus Dana Yanatera Bulog dan pansus Sultan Brunai Darussalam ini dibentuk. Padahal hasil momerendum kepada Presiden Abdurahman Wahid tidak memiliki landasan hukum (konstitusi). Menurut ketentuan hak penyelidikan (Angket) dalam peraturan tata tertib DPR tidak ada satu pasalpun yang menyebut peringatan kepada Presiden berupa memorandum. Tindakan yang dilakukan DPR inilah yang sudah melenceng jauh dari tugas dan wewenang pansus, dengan kata lain pansus telah melanggar peraturan.

Namun kalangan DPR tidak kalah akal, maka berdalih Tap MPR No.3/1978 dijadikan dasar hukum adanya memorandum. Pada saat menjawab memorandum I, Gus Dur menolak memorandum I dan keterlibatannya dalam kasus Buloggate dan Bruneigate. Tidak berselang lama (memo I tanggal 28 April 2001 dan 20 April 2001) hanya dua hari, DPR menjatuhkan memorandum II dan mengusulkan adanya Sidang Istimewa. Jika dirunut kronologis berawal dari kasus Buloggate dan Bruneigate yang lebih kepada aspek hukum, maka tindakan DPR dalam konteks ini sudah keterlaluan, karena adanya niatan melakukan ipmpeachment kepada presiden. Inilah bagi Gus Dur sebagai kondisi berbahaya bagi kenegaraan. Tanggal 20 Juli 2001 Amin Rais menyatakan SI dapat dipercepat pada tanggal 23 Juli 2001, dan untuk mengatasi gerakan membahayakan tersebut, maka Gus Dur mengeluarkan dekrit yang isinya termasuk membekukan MPR dan DPR.

Dekrit tersebut, kemudian dibaca oleh mereka lawan-lawan politik sebagai peluang untuk benar-benar menyelenggarakan SI. Persis pada hari yang sama, saat maklumat itu dibacakan oleh Yahya Cholil S, di gedung DPR/MPR pemakzulan dilakukan dan hari itu juga Indonesia mempunyai presiden baru.

Penutup

Bagi anda yang masih bisa berpikir jernih, maka apakah kasus Buloggate atau Bruneigate adalah semacam alat politik saja, sebab bagaimanapun itu adalah kasus hukum tidak bisa DPR mengurusi proses hukumnya. Namun faktanya, itu semua dijadikan dalih politik untuk memberikan rasa tidak percaya kepada Gus Dur dan selanjutnya menjadi alat melengserkannya. Bisa jadi, alasan sebenarnya bukan itu semua. Masih ada fakta-fakta lain tersembunyi yang bisa menjelaskan mengapa Gus Dur dilengserkan. Namun, jika pertanyaan mengapa Gus Dur turun dari jabatan Presiden, maka jawaban yang tegas adalah sebab dilengeserkan oleh mereka yang dengan sengaja menghendakinya. Bukan karena pelanggaran atas peraturan apapun. Berbagai kecacatan yang menyertai pelengseran Gus Dur akan tetap menjadi bahan polemik dan menjadi bagian sejarah bangsa ini. Bersukurlah setelah dilengserkan Gus Dur biasa-biasa saja, tidak sedikitpun melakukan upaya-upaya perlawanan berarti. Sehingga tak ada darah tertumpah.

Sumber :

1)    Kronologi lengsernya Gus Dur http://nasional.news.viva.co.id/news/read/117600-kisah_kejatuhan_gus_dur_dari_kursi_presiden

2)    Fakta-fakta pelanggaran terhadap undang-undang dan tata tertib DPR oleh Pansus Dana Yanatera Bulog dan Sumbangan Sultan Brunei, di http://hasni.4mg.com/benar_files/halpol_files/politik.htm

3)    Sidang Istimewa atau Dekrit, di http://teguhtimur.com/2001/06/02/sidang-istimewa-atau-dekrit/

4)    Sumber-sumber lain