CERITA KANCIL DAN KEYONG : KESEMBRONOAN BERAKIBAT FATAL

Kancil sebagai hewan yang lincah, cerdik, pandai, atletis dan rupawan demikian membanggakan dirinya. Makhluk seperti Keyong dihina dan direndahkan. Demikian hinaannya :

“sudah mati saja//hidup lama juga celaka//wujudmu jelek//dengan punggung//tidak lumrah makhluk Tuhan seperti itu//polah tingkah rumahmu turut serta//merecoki dalam bekerja”

“luhung cupêta bae wis | urip ndêdawa cilaka | wujud sifatira asor | sarta tyasmu punggung mudha | tan kaprah makhluking Hyang | mobah molah wisma katut | ngrêribêdi barang karya ||”

mokal darbea sirèki | kagunan ingkang mulyarja | pantêse atimu bodho | klêlar-klêlêr mak-êmakan | tur tan darbe agama | kitab Kuran nora wêruh | apa manèh tatakrama ||

“Mustahil kamu punya kemulyaan//pantas saja hatimu bodoh//klelar kleler manja//juga tak punya agama//kitab Quran tidak tahu//apalagi tata krama//

Begitulah awal perseteruan antara kancil dan keyong, sehingga keyong menantang adu lari. Dan perlombaan laripun terjadi. Setiap kancil lari mendahului Keyong, di depannya ada “Kancil aku di sini”, begitulah seterusnya. Sehingga pada akhirnya Kancil menyerah kalah.

Sikap sombong kancil telah membuatnya tidak jeli dan teliti. Bahkan bentuk keyong yang sudah kodratpun dicaci maki. Namun justru karena bentuk itulah keyong memenangkan pertarungan.

Seringkali manusia “gebyah uyah”, menggenelarisir terhadap orang lain. Tidak pernah mau jeli dan memahami bahwa setiap individu adalah unik. Jangan sampai sikap kecerobohan seperti Kancil ini menjermuskan kita ke dalam kesalahan yang sama seperti dialami oleh si Kancil.

Dikutip dari Kitab :
KANCIL KRIDHAMATANA
Oleh : Raden Panji Natarata, Ngayugyakarta
Diterbitkan oleh H. Buning, Yogya, 1909

Sumber : Yayasan Sastra Lestari