Akhir-akhir ini terdapat gejala atau fenomena adanya kencenderungan masyarakat mengagumi kepada para ulama atau ustadz yang datang dari Arab. Bagaimanapun harus diakui bahwa tanah Arab, dimana ada Makkah dan Madinah sejak dahulu kala adalah pusat dari keilmuwan Islam. Namun bukan berarti belahan dunia lain tidak layak disebut sebagai pusat perkembangan keilmuwan Islam tersebut. Kekaguman kepada ulama yang datangnya dari Arab, adalah hal yang sah-sah saja. Toh penghargaan kepada ulama adalah sikap yang baik. Namun, ketika sikap itu dibarengi dengan sikap merendahkan atau kurang menghormati ulama Nusantara, maka penghormatan tersebut adalah tidak baik, karena hanya berlandaskan etnis semata.
Arus Utama : Nusantara-Arab-Nusantara
Sikap meremehkan para ulama Nusantara, sebenarnya lebih disebabkan oleh kebutaan sejarah semata (ahistoris). Ketika orang-orang muslim di Nusantara masih belum begitu kuat keilmuwan keislamannya, maka banyak para kyai dan santri yang berasal dari nusantara pergi ke Arab (Makkah, Madinah, Yaman, dll) untuk memperdalam ilmu keislaman mereka. Setelah mereka belajar, kemudian mereka mengembangkan ilmunya di tanah airnya, di nusantara dengan berbagai cara. Ini adalah arus utama model penyebaran dan penguatan islam di Nusantara.
Hubungan Muslim Nusantara dan Timur Tengah terkoneksi sejak Islam berkembang di Nusantara. Berdasarkan studi Azyumardi Azra (Jaringan Ulama,1998), hubungan itu bersifat politis dan keilmuan. Hubungan politis terjalin antara sejumlah kerajaan di Nusantara dengan Dinasti Utsmani. Aceh, Banten, Mataram, telah mengirimkan utusan ke Haramain (Mekkah-Madinah) sejak abad ke-17. Sejak Dinasti Utsmani mengamankan jalur perjalanan haji, kian banyak pula yang menuntut ilmu pada abad ke-14 hingga ke-15. Hal itulah yang mendorong munculnya komunitas Jawi. Orang Arab menyebutnya ashab Al Jawiyin (saudara kita orang Jawi).[1]
Nama-nama ulama seperti Syekh Yusuf Al- Makassary (Makassar) dan Syekh Abdul Rauf Al-Sinkili (Singkel, Aceh), merupakan ulama yang malang melintang menuntut ilmu di Haramain pada abad ke-17. Syekh Abdul Shomad Al-Palimbani (Palembang), Syekh Nafis Al-Banjari (Banjar, Kalsel), Syekh Arsyad Al-Banjari (Banjar, Kalsel) merupakan ulama tasawuf Tarekat Samaniyah yang berpengaruh pada abad ke-18. Kita juga mengenal nama-nama seperti Syekh Nurudin Al-Raniri (Aceh), Syekh Abdul Rahman Al Masry Al Batawi (Jakarta), Syekh Khatib Sambas (Kalimantan), dan lain-lainnya. Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ulama kita malah makin hebat-hebat di Mekkah. Karena tak sekadar menuntut ilmu, tapi justru menembus pusat ilmu di Mekkah, yaitu sebagai pengajar dan imam di Masjidil Haram.
Ulama Nusantara Sebagai Sumber Arus Utama
Catatan perjalan ulama-ulama yang dikenal luas di dunia tersebut di atas menempuh jalur keilmuwannya menelusuri jejak-jejak ilmu di nusantara (termasuk melayu), ke berbagai negara lain sebelum pada akhirnya ke jantungnya, yaitu Mekkah dan Madinah. Setelah pulang kembali ke nusantara para ulama tersebut membangun sumber-sumber baru di daerah masing-masing. Jadi dapat dikatakan bahwa pesantren atau ulama nusantara sebenarnya bersumber langsung dari pusatnya dan mencoba menumbuhkan sumber-sumber baru dengan tetap menjaga kemurnian sumber asal tersebut.
Perjalanan Syeh Yusuf Al Makasary menunjukkan bahwa sebelum beliau belajar di Mekkah, beliau telah menimba banyak ilmu terlebih dahulu, misalnya di Cikoang (Sulawesi), Banten, Aceh, Gujarat, Turki dan Yaman. [2]Perjalanan keilmuwan ini menunjukkan betapa banyaknya bekal yang dibawa sebelum akhirnya tekun belajar di Mekkah. Demikian pula Syeh Abdul Rauf Al Sinkli, beliau menimba ilmu di Qatar, Lohor, India dan Aceh tentunya. Hebatnya lagi beliau adalah pengamal 11 tarekah.[3]
Syeh Abdul Shomad Al Palimbani adalah contoh ulama nusantara yang sangat peduli pada perjuangan nusantara, meski beliau sudah menjadi bagian masyarakat Arab. Beliau selalu mendorong agar para pangeran kesultanan Mataram meneruskan perjuangannya melawan Belanda.[4] Sementara Syeh Arsyad Al Banjari sudah dididik ilmu keislaman dalam lingkungan kerajaan Banjar. Demikian pula beliau mempunyai guru yang banyak dan mempunyai sanad keilmuwan yang kuat. Sepulangnya dari Mekah beliau membuka pesantren di Banjar dan menulis banyak kitab. Salah satu kitab yang terkenal dan dipelajari di seluruh nusantara, termasuk Brunei adalah kitab Sabilul Muhtadin.[5] Para ulama tersebut mencetak ulama-ulama lain yang kemudian menjadi tokoh di daerah masing-masing. Pun demikian dengan Syeh Ahmad Khatib Sambas, juga melahirkan para ulama berkaliber, salah satu muridnya yang terkenal adalah Syeh Imam Nawawi Al Bantani.[6]
Gelombang arus berikutnya adalah pada masa abada ke-19-20 seperti Syeh Imam Nawai Al Bantani, Syeh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dan Syekh Mahudh At Tarmasi. Mereka adalah contoh penerus ulama nusantara yang membawa harus nusantara dalam khazanah keilmuwan Islam di dunia internasional.
Syekh Nawawi berasal dari Tanara, Banten, adalah ulama yang rendah hati, sangat alim, dan penulis kitab produktif. Syekh Ahmad Khatib berasal dari Minangkabau, adalah mujaddid, yang mendorong pembaruan di Minangkabau. Ahmad Khatib bahkan menjadi imam di Masjidil Haram. Syekh Mahfudh berasal dari Tremas, Pacitan, adalah ulama yang sangat dihormati para kiai Jawa. Murid kesayangannya, KH Hasyim Asyari, pendiri NU, membawa tradisi yang diajarkan Syekh Mahfudh ke Indonesia.
Demikianlah gambaran bagaimana sumber-sumber keilmuwan tersebut bisa tersebar di seluruh nusantara dan mengambil langsung dari sumber mata air di jantung pusatnya. Para ulama-ulama dari nusantara tersebut ternyata juga menjadi sumber utama di Arab, menjadi rujukan para ulama-ulama dari berbagai belahan dunia.
Arus Balik : Arab Sentris
Yang terjadi saat ini ada semacam keterputusan sejarah mengenai arus keilmuwan para ulama nusantara. Ulama-ulama nusantara yang tumbuh, berkembang dan lahir dari pesantren di nusantara kurang mendapat penghormatan yang layak jika dibandingkan dengan ulama yang datang dari negara Asing (khususnya Arab Saudi). Padahal sudah beberapa abad silam, ulama nusantara adalah sumber di Arab Saudi. Demikian pula pesantren atau pusat-pusat keilmuwan yang ada di nusantara adalah warisan atau bagian dari ulama-ulama yang menjadi sumber utama tersebut. Dengan kata lain, ulama produk pesantern di nusantara adalah produk para ulama dahulu yang menjadi sumber arus utama keislaman di nusantara. Mereka tidak kalah alim dalam hal ilmu keagamaan dibandingkan dengan ulama dari negara lain, karena memang mereka menyerap jalur (sanad) yang masih terjaga dan berasal dari sumbernya.
Yang terjadi kemudian adalah para santri atau pelajar berlomba-lomba menempuh jalur pendidikan di pusat-pusat studi di Timur Tengah (Arab), sementara pusat-pusat di nusantara sudah dianggap tidak memadai dan tidak layak. Sikap demikian merupakan wujud dari sikap ahistoris yang melupakan para ulama nusantara terdahulu. Mereka tidak berusaha membangun ketersambungan jalur keilmuwan di nusantara yang memiliki jalur demikian jelas sejak abad ke-17 seperti diuraikan sebelumnya.
Penutup
Secara sederhana, para pelajar dahulu berbondong-bondong berguru kepada ulama dari nusantara, baik yang ada di nusantara maupun yang ada di Arab. Namun saat ini sudah mulai arus balik, dimana mereka langsung berbondong-bondong ke Arab langsung, dengan meninggalkan ulama nusantara. Inilah yang saya sebut sebagai arus balik ulama nusantara saat ini. Yang lebih memprihatnkan adalah mulai muncul kebanggaan yang menyandarkan adanya Arab sentris, dimana menilai bahwa lulusan Arab (Timur Tengah) adalah jauh lebih alim dan kapabel sebagai ulama dibandingkan mereka yang lulusan dari pesantren di nusantara.
Apakah memang sudah demikian seharusnya? Atau memang kita sudah melupakan sejarah kita sendiri? Atau ada alasan lain dari itu?
Wallahu ‘Alamu Bishshowab
Catatan Kaki :