Jika ada yang manyatakan bahwa Majapahit adalah negara berdasarkan agama tertentu (Hindu/Budha Syiwa), buat saya kurang meyakinkan. Ada beberapa alasan yang bisa saya ajukan, yaitu : Pertama, berdasarkan prasasti Bendasari yang dikeluarkan oleh Rajasanagar (Hayam Wuruk) disebutkan adanya kitab hukum Kutara Manawa atau Kutaramanawadharmasastra yang berisi pasal-pasal dalam hukum pidana dan perdata. Dan isi pasal-pasal tersebut tidak mencerminkan adanya pengaruh dominan dari sebuah agama tertentu (Hindu), namun lebih merujuk pada aturan berdasarkan nilai-nilai masyarakat Jawa pada waktu itu (yang berkembang dalam masyarakat). Misalnya dalam pasal 87 disebutkan : “Barangsiapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barangsiapa merampas hamba orang, dendanya dua laksa. Denda itu dipersembahkan kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi dan segala apa yang dirampas terutama hamba dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat”. Hewan sapi diperlakukan sebagai hewan ternak (kekayaan) seperti kerbau dan lainnya (bukan hewan suci yang tak tersentuh). Pasal 108 berbunyi :”Djika seorang istri enggan kepada suaminja, karena ia tidak suka kepadanja, uang tukon (mahar) harus dikembalikan dua kali lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama (menolak bertjampur)”.
Kedua, Dalam sistem kependetaan (tokoh agama) ada dua yaitu kependetaan yang dekat dengan agama dan para pertapa di luar istana (Rsi). Para Rsi ini bisa datang dari berbagai agama, tidak hanya dari Hindu. Setiap tahun diadakan acara paseban (pertemuan besar), dimana tokoh-tokoh agama hadir, dari pendeta, Siwa, Budha dan Rsi untuk membacakan kitab suci dan mantra untuk keselamatan Raja. Dan seluruh tempat-tempat suci dari berbagai agama tersebut dilindungi dan dibantu oleh Raja.
Paling tidak dua alasan utama itulah yang membuat saya yakin bahwa Majapahit di saat Hayam Wuruk menerapkan sistem hukum positif yang bersumber dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, bukan sistem agama tertentu, namun bisa diterima oleh masyarakat yang beragama ragam. Oleh karena itu, saya menyebutnya majapahit sebagai kerajaan (negara) bhinneka. Maka menjadi wajar, jika Islam juga berkembang dan mencapai penerimaan luas oleh masyarakat, karena memang kerajaan tidak membatasi agama tertentu untuk berkembang.
Disarikan dari :
Agus Aris Munandar, 2008, “Kejayaan Kerajaan Majapahit Rajasanagara di Puncak Peradaban Majapahit (1350-1389)”, Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.