Sudah beberapa kali kejadian di Indonesia, selalu berkaitan antara naiknya harga (komiditas) dengan tuntutan turunnya kepala negara. Mungkin kasus Gus Dur adalah pengecualian untuk hal ini.
Melambungnya harga beras di era 60-an dan melemahnya rupiah (di sisi lain naiknya mata uang asing), telah berujung pada lengsernya Soekarno. Demikian pula tahun 1998-an, kenaikan BBM dan dollar juga berujung pada lengsernya Soeharto. Loh, kok model-model itu akan digunakan kali ini, di saat harga bawang dan daging sapi naik. Turunkan SBY ...!!! begitu teriaknya.
Kalau mau jujur, presiden itu tidak mampu kok menurunkan atau menaikkan harga komoditas yang sudah masuk pasar. Sistem ekonomi itulah yang sudah bermain. Banyak invisble hand yang turut mengendalikan harga komoditas pasar. Jadi, menuntut mundur SBY atas kenaikan harga barang tentu menjadi kurang efektif.
Apalagi, hukum ekonomi menyatakan bahwa kondisi kekacauan (tidak cetiris paribus), akan sangat memperparah ketidakstabilan pasar. Kita sudah terlanjur menjadikan ekonomi pasar itu menjadi sistem ekonomi kita. Dan nampaknya sudah menjadi “kewajiban” global untuk ikut serta.
Tapi, kalau mau meniru China dengan sistem sosialis komunis (meski ada yg diliberalkan), masalah-masalah seperti itu bisa dikendalikan oleh negara. Di saat harga mencekik, maka layak menuntut.... Turunkan Presiden.
Masihkah tertarik dengan sistem ekonomi sentralistis? Soal nama bisa diberi belakangan, mau ekonomi komunis, ekonomi abangan, ekonomi syariah atau apapun....
Sumonggo....