Abangan dipopulekan oleh Cliford Geertz untuk menggambakan “agama Jawa”. Ia mengambil dari istilah yang digunakan oleh masyarakat Jawa waktu itu untuk menyebut dirinya yang masih minim simbol-simbol keislaman yang kuat. Mereka adalah para petani kebanyakan yang tinggal di desa dengan pertanian sebagai mata pencaharian. Juga mereka tidak bergelar haji atau kyai atau berguru di pesantren. Dengan demikian berbeda dari kaum santi yang memiliki simbol keislaman kental dan banyak bergelut di bidang perdagangan.
Abangan, dari kata abang, berarti merah merujuk pada keadaan atau suatu tahapan yang masih rendah atau baru. Bayi yang baru lahir sering digambarkan oleh masyarakat Jawa sebagai bayi abang, kulitnya masih merah. Makna ini pada perkembangannya sering diasosiasikan dengan politik, sehingga muncul persepsi yang tidak tepat dan cenderung negatif. Kaum abangan bukanlah kaum yang negatif, mereka adalah kaum lemah, baik dari sisi ekonomi dan kegamaan.
Demikian pula, ketika kugambarkan diriku untuk sebuah pemahaman konsep keberagamanku. Sungguh aku ini benar-benar abangan. Masih lemah keagamaan, masih lemah iman, masih kurang dalam simbol keislaman dalam keberagamaanku sehari-hari. Tidak berani sedikitpun, jika aku haus menyebut diriku sebagai kaum putih, simbol kebersihan, keunggulan dalam keberagamaan. Kalau toh masih pantas adalah sebagai santri, namun bukan dalam pengertian Geertz, penuh dengan simbol keislaman. Santri buatku adalah tahapan baru dalam belajar agama, masih sedikit ilmu, pengalaman dan wawasan. Jadi, jika disebut abangan, dalam pandanganku ini tak beda jauh dengan santri, sama-sama masih baru, minim dan lemah.
Bagaimana menurut anda?