Banyak beredar mengenai bulan Suro ini, apalagi di Jawa. Berbagai tafsir dan keyakinan menggelayuti makna bulan Suro itu sendiri. Bulan Suro dalam kalender Jawa yang diprakarsasi oleh Sultan Agung dijadikan awal bulan dalam satu tahun putaran. Sekaligus disamakan dengan bulan Muharram yang berasal dari kalender Hijriyah. Menurut pendapat saya dan lebih condong untuk mengatakan bahwa SURO adalah nama khas Jawa, tidak ada sangkut pautnya dengan nama yang diambil dari kata Arab seperti Asyuro (hari kesepuluh). Nama-nama bulan yang diajukan oleh Sultan Agung yang masih murni Jawa dan dikenal luas ya hanya SURO (mungkin ada yang lain yaitu REHEB = REJEB).
SURO ada yang memaknai sebagai SURO DUROKO, dimana bulan itu adalah “tundhan demit”, yakni bulan yang penuh demit memangsa manusia, oleh karena itu banyak pantangan di dalamnya, karena adanya serangan demit yang berlipat-lipat tersebut. Kemudian disusul ritual-ritual untuk mencegah manusia agar tidak menjadi sasaran demit yang mengamuk tersebut.
SURO ada yang menyebut mengambil kata ASYURO, dimana artinya adalah hari kesepuluh. Tanggal 10 bulan tersebut (Muharram) bagi kaum syiah menjadi hari sangat bersejarah, yakni terbunuhnya Sayyid Husain di padang Karbala. Namun dari sumber-sumber lain justru menceritakan kabar kegembiraan pada hari tersebut, seperti terbebasnya kaum Yahudi dari Fir’aun. Jadi pengambilan nama bulan SURO berdasarkan hal ini jelas-jelas tidak tepat. Faktanya, masyarakat Jawa tidak kemudian menjadi pengikut syiah secara massiv.
Bahwa bulan Muharram adalah bulan yang dimuliakan itu sudah jelas dan tegas. Kemudian Sayyidina Umar bin Khattab menetapkan sebagai bulan awal dalam siklus 1 tahun dimaknai sebagai penanda peristiwa hijrah Rasulullah dan kaum muslimin ke Madinah. Hijrah menuju peluang yang lebih baik, membuka upaya dan kesempatan agar lebih baik menjadi dasar untuk mengawali tahun adalah makna yang sangat mendasar. Sehingga pemaknaan ini akan membantu umat Islam setiap awal selalu berusaha melakukan perubahan-perubahan ke arah lebih baik. Bagaimana dengan SURO bagi orang Jawa?
SURO adalah kata sansekerta yang berarti BERANI. Menurut keratabasanya adalah SU = Mesu dan RO = sariRO, artinya adalah mati raga, berpuasa, menggembleng diri. Keratabasa lainnya yang dapat diajukan adalah SU = Suluk dan RO = Roso (Rasa), artinya SURO sebagai waktu melakukan perjalanan spiritual mengolah rasa. Inilah mungkin mengapa Sultan Agung tetap mempertahankan sebutan SURO meski tahu bahwa itu adalah Muharram sebagai awal tahun hijriyah.
Dengan demikian, jika tahun baru Hijriyah ditandai dengan adanya peristiwa hijrah, perpindahan, maka ada semangat atau spirit yang terlengkapi dalam khazanah Jawa, yaitu mengawali tahun dengan penuh keberanian memulai sesuatu, mengolah rasa, bertirakat, bersusah payah terlebih dahulu sehingga kelak pada akhir tahun dapat mencapai puncak spiritual yaitu HAJI. Jika bulan SURO adalah bulan bersusah payah dalam mengolah rasa, mengapa harus berfoya-foya atau bergembira? Dengan demikian kita bisa memahami mengapa pada bulan SURO orang Jawa tidak patut dan dilarang melakukan hajatan yang sifatnya kegembiraan, sebab tidak sinkron dengan semangat yang ada.
Akhirnya, mengapa kita tidak berupaya memahami bulan SURO dalam kerangka pemahaman makna HIJRIYAH (perubahan) dan sebagai bentuk memuliakan bulan yang mulia tersebut dengan laku prihatin dan berjuang? Perubahan dapat dicapai hanya dengan keberanian dan kerja keras, susah payah dan itulah caranya kita memuliakan permulaan perjalanan satu tahun ke depan. Semoga kita bisa memulainya......
Wallahu ‘alamu bishshowab