Istilah Satria Piningit
Istilah Satrio Piningit banyak dijumpai dalam naskah klasik Jawa. Dari sekian naskah yang menyebut keberadaan Satrio Piningit tersebut secara umum mengabarkan bahwa Satria Piningit tersebut adalah penguasa (Ratu atau Raja) yang adil, bijaksana, memimpin rakyatnya mencapai kesejahteraan dan kejayaan. Namun, dalam naskah-naskah tersebut banyak menggunakan ungkapan-ungkapan simbolik untuk mendeskripsikan tentang sosok pribadinya, apalagi menuju pada person tertentu. Sehingga banyak tafsir atas satria piningit tersebut yang bisa “seenaknya” dilabelkan kepada seseorang. Tentu bagi pihak-pihak yang meyakininya mengajukan argumen yang berusaha meyakinkan kepada pihak lain dan itu bukan seenaknya atau asal-asalan.
Dari sekian gambaran tentang satrio piningit yang paling menonjol justru keberadaannya yang samar itu, tersembunyi/disembunyikan (piningit), dalam sebuah ungkapan disebut “pudhak sinumpet”, pandan yang harum namun tidak tercium aroma wanginya. Dengan kata lain, satrio piningit yang digambarkan seperti itu sangat membuka ruang tafsir personifikasi yang luas dan sepanjang zaman. Kriteria keadilan, kesejahteraan dan kejayaan adalah identifikasi berikutnya untuk menguatkan pelabelan kepada seseorag yang diberi sebutan satrio piningit.
Satria Piningit adalah Sebuah Teori Politik
Menurut saya, konsep satrio piningit merupakan sebuah teori politik khususnya berkenaan dengan suksesi, pergantian kepemimpinan atau pemilihan umum (dalam konteks saat ini). Mengapa saya menyebut demikian? Naskah-naskah tentang satrio piningit lahir dari sebuah tradisi dimana sistem yang dikenal luas dan paling menonjol adalah sistem penunjukan atau pewarisan. Para raja di Jawa masa itu biasa menunjuk calon penggantinya atau putra mahkota yang akan menggantikannya kelak. Tradisi ini sudah menjadi tradisi suksesi yang populer, tidak aneh dan menjadi pengetahuan umum. Namun dalam kebijakan para leluhur, selalu akan muncul kemungkinan yang tidak umum, tidak terduga, dimana suksesi dimenangkan oleh mereka yang selama ini tidak terkenal sebelumnya. Katakanlah, munculnya Raden Patah pendiri Demak, dapat dikatakan sebagai satrio piningit dalam konteks keberlangsungan Majapahit atau kerajaan besar di Nusantara. Siapa yang mengenal Raden Patah sebagai pewaris sebuah kerajaan? Tentu tidak pernah populer sebelumnya, tersimpan dan tersembunyi keberadaannya.
Itulah mengapa saya menyebutnya sebagai sebuah teori politik. Dengan kemunculan tokoh yang tidak populer sebagai pemenang atau penguasa maka akan memberi kerangka teoritik bagi proses suksesi di masa berikutnya. Jadi, para bijak leluhur kita dahulu sudah mengingatkan kepada kita bahwa sewaktu-waktu dimungkinkan muncul seorang penguasa yang tak terduga, dan tokoh itu ternyata benar-benar menjadi penguasa yang baik. Semua tak pernah masuk dalam hitungan, tidak dikenal dan populer.
Kasus kemenangan Jokowi-Ahok dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta beberapa waktu lalu dapat dijelaskan dengan teori sukses ala satrio piningit. Banyak lembaga survey yang menghasilkan kesimpulan studiya yang menang adalah pasangan Fauzi Bowo (incumbent). Foke sudah dikenal luas, apalagi dia adalah incumbent. Jadi tidak piningit lagi. Banyak tokoh-tokoh lain yang dikenal punya track record yang layak dan pantas jadi gubernur DKI Jakarta. Tetapi apakah kemudian Jokowi-Ahok memenuhi kriteria satrio piningit berikutnya yang Ratu Adil? Maka ini belum bisa. Sebab masih panjang dan perlu pembuktian. Bahkan untuk memenuhi konsep ratu adil yang disebut dalam naskah Jawa klasik, banyak kriteria yang harus dipenuhi. Jadi, dengan teori politik sukses ala satrio piningit ini kita bisa lebih memahami terjadinya sebuah suksesi yang di luar prediksi dan kepopuleran.
Variasi Satria Piningit menurut Ranggawarsito
Dalam pandangan Ranggawarsito, seorang pujangga Jawa ternama mengajukan 7 model satrio piningit. Dalam pemahaman saya, 7 model tersebut untuk melengkapi konsep piningit. Artinya, tersembuyi seperti apakah yang bisa menjadi variasi dari seorang kesatria tersebut.
7 Model tersebut adalah sebagai berikut :
1) SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO. Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), dan sangat tersohor diseluruh jagad (Murwo Kuncoro). Artiya ketakterdugaan itu adalah dalam model seringnya dipenjara. Banyak orang tentu tidak akan menduga kepada orang yang suka dipenjara itu bisa menjadi penguasa. Mana bisa, padahal dirinya sendiri saja lama di penjara atau sering ke luar masuk penjara? Dengan model ini, kita tidak boleh gegabah dalam menilai seseorag, apakah seseorag yang dipenjara selamanya adalah penjahat? Tentu tidak. Sebab ada penjara politik, dimana urusannya adalah urusan kekuasaan, dan sebagai pihak yang melawan penguasa dan kalah tentu masuk penjara adalah wajar. Lihatlah Lech Walesa atau Nelso Mandela atau Soekarno. Di saat mereka dipenjara, tentu tak ada teori manapun yang bisa mendukung atau meyakinkan mereka layak jadi presiden.
2) SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR. Tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan (kesandung kesampar). Hal ini mirip dengan model yang pertama, namun kesialannya tidak dalam bentuk penjara. Bisa jadi kesialannya adalah kegagalan-kegagalan dalam pemilu atau tak dianggap. Maka orang-orang macam itu bisa menjadi pemenangnya. Model ini banyak ditemukan dalam proses pemilihan kepala daerah di Indonesia.
3) SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR. Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela Atur). Model ini menekakan adanya penguasa yang muncul karena diambil. Sebenarnya tidak dikehendaki banyak orang karena situasi tertentu dia ditunjuk/dipilih. Model ini sangat pas diterapkan pada penguasa-penguasa masa transisi, seperti pejabat pelaksana tugas.
4) SATRIO LELONO TAPA NGRAME. Tokoh pemimpin yang suka mengembara / keliling dunia (Lelono) juga seseorang yang suka bertapa di keramaian. Model ini lebih tepat ditafsirkan sebagai orang yang sebenarnya menggembleng dirinya serius dalam kepemimpinan, menyiapkan dirinya, namu tidak berambisi dalam kekuasaan. Orang-orang hanya mengenal sebagai pencari ilmu, pengusaha yang suka berkeliling atau insinyur yang sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga dia dianggap seperti kebanyak manusia yang sibuk dengan urusan biasa dan bertingkah seperti kebanyak orang. Seorang artis bisa saja menjadi penguasa, karena artis itu biasa saja dalam kacamata politik, dan berbaur dengan kehidupan duniawi.
5) SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH. Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Model ini juga tersembunyi. Sebenarya memiliki trah penguasa, punya akses untuk berkuasa tetapi semua itu tidak diketahui orang, tidak terkenal. Model ini juga memperkuat ungkapan bahwa seorang penguasa/tokoh lahir dari penguasa pula.
6) SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO. Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (Boyong) dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang (Pambukaning Gapuro). Model ini merujuk pada orang-orang baru yang selama ini tidak berkecimpung dalam politik kekuasaan. Dia diibaratkan sebagai satrio boyong (berpindah), dan itu sebagai langkah pembuka untuk memasuki dunia politik. Ketersembunyian model ini adalah dalam bentuk perpindaha bidang seseorang. Misalnya seorang yang selama ini bergelut sebagai petani, tetapi setelah memasuki dunia politik yang baru dan berusaha keras mampu menjadi pemenang.
7) SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU. Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum / petunjuk Allah SWT (Sinisihan Wahyu). Model ini juga tidak terduga, apalagi di zaman Ranggawarsito. Seorang kestaria yang sangat dekat dengan kehidupan ruhani, kemudian menjadi penguasa? Tentu zaman itu tidak lazim dan tak populer. Namun saat ini itu bisa saja terjadi.
Model-model satrio piningit yang diajukan Ranggawarsito tersebut, tentu pada zamannya belum lazim, dan benar-benar piningit, tersembunyi. Namun saat ini semua model bisa dijumpai dalam proses suksesi di beberapa negara atau daerah. Jika dalam pengertian ini, maka Ranggawarsito telah melampui pikiran orang pada zamannya menyangkut proses suksesi. Dan inilah mengapa banyak orang menyebutnya sebagai ramalan. Padahal, jika dilihat seperti uraian di atas, justru model yang diajukan oleh Ranggwarsito sebagai penjelas atau deskrispi yang lebih luas daripada sekedar “pudhak sinumpet” yang muncul pada era sebelumnya.
Wallahu ‘Alamu Bishshowab