Menyimpan Persoalan
Kasus Sutan Batugana beberapa waktu lalu berkenaan pernyataan dia yang dinilai sebagai pernyataan yang melecehkan Gus Dur sebenarnya dapat dijadikan pelajaran berharga atas perjalanan bangsa ini. Bahwa ketika seorang presiden diganti/diturunkan/dimakzulkan melalui Ketetapan MPR akan menyimpan masalah di kemudian hari. Sebab proses pergantian semacam itu lebih pada wiliayah politik, bukan hukum. MPR sebagai lembaga politik tertinggi negara, merupakan representasi dari kehendak politik rakyat. Itu adalah ketentuan konstitusinya. Namun karena itu produk politik (meski Tap MPR juga bagian dari sumber hukum), maka kesalahan yang mengakibatkan TAP itu keluar didasarkan atas pertimbangan dan perimbangan kekuatan politik. Sukurlah saat ini sudah mulai disaratkan adanya dasar hukum dari proses pemakzulan tersebut.
Belajar dari kasus beberapa presiden sebelumnya, yaitu Soekarno dan Soeharto harusnya bangsa ini belajar lebih baik bagaimana membangun masa depan di saat transisi kekuasaan terjadi. Sikap terhadap rezim masa lalu menjadi prasyarat yang sangat penting di dalamnya. Soekarno yang diturunkan lewat Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tidak pernah segera diselesaikan dalam langkah-langkah konkrit. Baru tahun 2003 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No.1/MPR/2003 tentang 139 Tap MPR/MPRS sebelumnya yang masih berlaku dan tidak berlaku. Lebih dari 30tahun sebagian persoalan dijawab, yaitu secara otomatis isi dari Tap MPRS yang menempatkan Sokarno sebagai pihak yang bersalah tidak berlaku.
Soeharto, yang ditetapkan oleh MPR untuk diusut tuntas soal korupsinya yang berarti ada dugaan di dalamnya juga menyisakan persoalan. Demikian pula Gus Dur, yang dilengeserkan melalui sidang istimewa dengan ketatapan karena mengeluarkan dekrit dan dianggap membahayakan negara. Jika Soekarno butuh waktu selama itu, kapan untuk Soeharto dan Gus Dur?
Tidak Tegas Bersikap
Fakta ini memberikan gambaran bahwa sekian kali kita melakukan pergantian pemimpin, dengan proses yang melawan rezim berkuasa, tidak pernah tuntas bersikap terhadap rezim sebelumnya, yang diganti. Soekarno hanya disebut sebagai Pahlawan proklamator, artinya kepahlawanan Soekarno hanya karena proklamasi. Memang peristiwa itu sangat krusial dan fundamental, tetapi melihat kiprah perjuangan beliau layakkah hanya diberi gelar “sebagian” seperti itu? Baru pada masa SBY gelar pahlawan nasional diberikan. Dan nampaknya pemberian gelar semacam itu juga sedang dilakukan. Soeharto disebut-sebut sebagai Bapak Pembangunan, Gus Dur disebut-sebut sebagai Bapak Pluralisme. Apalah arti gelar atau sebutan semacam itu, jika kejelasan sikap atas beliau berdua tetap tidak jelas? Dan kecil sekali menunjukkan gejala kejelasan tersebut. Apakah diharapkan dengan sebutan itu kemudian dapat meredakan gejolak yang bisa timbul bagi para pendukung dan pengagumnya?
Sebutan sebanyak apapun, jika persoalan yang inti belum terselesaikan maka akan sulit sekali menentukan sikap selanjutnya. Apakah Soeharto seorang korup? Seorang penjahat HAM? Kan tidak pernah jelas soal itu, padahal masalah-masalah itulah yang dulu menjadi sebab beliau dilengserkan. Apakah Gus Dur memang mengacau negara? Membahayakan negara? Toh setelah lengser juga tidak terjadi apa-apa, biasa saja, tanpa perlawanan. Apakah terbukti dalam kasus suap Buloggate dan Brunaigate? Dari sisi hukum sudah jelas, SP3. Ketika keduanya sudah meninggal, apakah persoalan semacam ini akan selalu menjadi beban bagi anak cucu kita?
Rasanya sangat perlu bagaimana kita saat ini memberikan kejelasan mengenai kasus-kasus tersebut demi anak cucu kita kelak. Apakah akan berdamai, dan memutihkan segala masalah rezim masa lalu? Atau membiarkan bangsa ini melupakan, kemudian tiba-tiba ada penyelesaian seperti Soekarno itu? Jika itu yang dilakukan, berapa puluh tahun lagi generasi kita harus menanggung beban dendam sejarah? Bagi mereka yang akan bermain-main dalam politik, maka isu ini akan mudah digesek dan diledakkan. Di saat itu siapkah generasi kita menghadapinya? Mereka butuh kejelasan kita saat ini.
Wallahu 'Alamu Bishshowab