Banyak sekali pihak-pihak yang menganggap, bahkan meyakini jikalau kejawen itu adalah sebuah agama. Bahkan orang kejawen itu sendiri. Orang seperti Cliffort Geertz menulis buku yang fenomenal, “The Religion of Java”, agama Jawa. Baginya di Jawa itu ada agama tersendiri, yang unik berbeda dari agama-agama besar di dunia. Saya sendiri maklum jika Geertz membuat terminologi Agama Jawa, sebab kacamata yang dia pakai itu adalah antropologi, dimana religi didefinisikan sebagai sebuah kepercayaan kepada kekuatan supranatural yang mengendalikan kehidupan manusia. Sehingga religiusitas dimaknai sebagai sikap akan adanya atau hadirnya Kekuatan Supranatural yang Berkuasa itu. Inilah yang disebut Geertz sebagai agama. Jangan dipahami bahwa sebagai agama, di Jawa ada agama yang khas Jawa, dengan Nabi sendiri, kitab suci sendiri. Bukan begitu maksud Geertz.
Pemahaman religi seperti itu, akan membawa kita untuk bisa memahami berbagai religi-religi di seluruh dunia. Hampir seluruh peradaban yang tergelar di dunia ini sudah membangun tradisi kepercayaan kepada Yang Supranatural, Ekstraordinary di luar diri manusia. Kejawen sendiri sebenarnya sudah mapan sebagai tradisi dalam religi yang dipahami seperti itu. Jauh sebelum agama-agama yang kita kenal saat ini datang dan berinteraksi.
Terdapat beberapa pilar tradisi Kejawen dalam bentuk-bentuk filsafat kehidupan yang sudah terpola sejak dulu kala. Hal itu bisa kita lacak dari beberapa pilar tersebut dalam bentuk ujaran, ungkapan atau bentuk ritus yang tersisa. Hal mendasar menyangkut siapa DIA sebagai kekuatan supranatural (di luar dini manusia) yang sangat menguasai manusia, menentukan haru biru manusia dalam kejawen digambarkan melalui ungkapan “Tan kinoyo ngopo”, tak bisa di-sepertikan apapun. Dengan ungkapan ini, DIA adalah yang sudah tak terjangkau akal dan kemampuan manusia untuk menggambarkannya. Ini adalah pilar pertama.
Kedua, adalah menyangkut keberadaan manusia itu sendiri. Bahwa manusia dalam tradisi Kejawen disebut sebagai “TITAH”, sebagai ayat, tanda akan DIA yang “Tan Kinoyo Ngopo” tadi. Ini juga mengandung pengertian bahwa manusia adalah bagian dari sebuah sistem kehidupan yang besar (makrokosmos) dan mempunyai kehidupan sendiri dalam lingkup kecil (mikrokosmos), atau “jagad alit lan jagat gedhe”. Hidup atau “Urip” adalah “roso rumongso” dengan sesama. Merasa sama-sama sebagai manusia, dan lebih luas lagi sebagai titah. Seseorang bagi orang lain adalah ayat, cermin dan demikian sebaliknya. Agar bisa lebih memahami ini, maka dalam Kejawen di ajarkan mengenai “sangkan paraning dumadi”, atau “kiblat papar lima pancer” dan lainnya sehingga membentuk sebuah pemahaman akan pada pilar yang ketiga yakni “DUNUNG” posisi diri dalam jagat raya ini. “DUNUNG” dalam Kejawen lebih berfokus pada posisi (hubungan dengan yang lain), sedangkan dalam posisi berkaitan diri sendiri (SELF), diajarkan “NGERTI”.
Interaksi manusia dengan makhluk lainnya menghasilkan dan memproduksi wacana, ilmu pengetahuan dan emosi. Kejawen menuntut dan menuntut agar setiap orang bisa NGERTI. Penguasaan ilmu atau NGELMU itu kesulitan terbesarnya adalah setelah dikuasainya ilmu. Memang untuk menguasai ilmu katakanlah “kejadugan” atau kesaktian, persoalan prinsip diajukan adalah “Untuk apa kesaktian itu?”. Kejawen tidak hanya menuntut bisa, tetapi MENGERTI (pilar ketiga). Sehingga akan menghasilkan manusia yang NJAWANI, yang DUNUNG posisi diri,NGERTI banyak kaweruh, sehingga dalam bentuk perilaku menghasilkan sikap dan laku “ATI-ATI”. Ini adalah pilar keempat dalam Kejawen.
Sering orang tua kita dulu menasehati, “Ati-ati yo nak, nek mulih”, hati-hati ya nak jika pulang. Sebenarnya tidak sekedar hati-hati berjalannya, tetapi memperhatikan “HATI”. Dalam perilaku dan sikap, maka fondasi HATI menjadi sangat penting, oleh karena itu pesan “ATI-ATI” itu dimaksudkan sebagai bentuk menjaga hati dari kotoran, seperti niat yang jahat, berkhayal, berangan dan sebagainya pada akhirnya bisa mengganggu kehidupan. Jika sudah demikian, maka sampailah pada pilar kelima, terakhir, yakni “SELAMET”.
Konsep “Selamet” sebagai puncak dari tujuan manusia Jawa. Inilah mengapa dijumpai dalam tradisi Jawa banyak sekali ritual selamatan. Orang mau memulai bersawah, didahului selametan, mau pengantin selametan dan sebagainya. Bahkan sampai meninggalpun tetap dilakukan upaya-upaya keselamatan. Selamat dalam paham Kejawen ya kembali pada pilar pertama, selamat kembali kepada asal, melalui proses “sangkan paraning dumadi” sehingga bisa kembali menghadap kepada DIA “Sing Tan Kinoyo Ngopo” tadi.
Itulah 5 pilar dalam Kejawen yang saya pahami, sekali lagi Kejawen dalam pandangan antropologis, religi adalah upaya sebuah tradisi kepercayaan kepada DIA yang Ghaib mengendalikan dan mengatur kehidupan manusia. Itu semua adalah tradisi dalam berpikir, memahami dan berfilsafat. Apakah kemudian, anda akan tetap dalam tradisi seperti itu tanpa memeluk agama, maka itu adalah pilihan anda. Dan saya memilih Islam sebagai agama. Mengapa? Tentu itu adalah hak saya seandainya saya tidak membeberkan alasannya. Namun jika mencermati uraian saya tentang 5 pilar Kejawen ini, tentu bisa dimafhumi itu.
Wallahu ‘alam Bish-showab