DERITA KAUM ABANGAN

Siapa kaum abangan itu?

Karl Marx membedakan kelompok masyarakat menjadi kelas atas dan kelas bawah. Kategor tersebut merupakan struktur sosial yang dibedakan berdasarkan ekonomi, kepemilikan atas modal, sebab kontek masyarakat Marx adalah masyarakat industri. Mereka yang berpunya (modal) adalah kaum borjuis sebagai kelas atas, di sisi berseberangan adalah mereka para pekerjanya, buruhnya, kacungnya yang disebut proletar, Dikotomi ini dipandang tidak realistis bagi sebagian ilmuwan. Marx Weber mengajukan alternatif, yaitu trikotomi dimana dia memasukkan kelas menengah (middle class), yaitu mereka bukan pemilik modal tetapi mempunyai tingkat ekonomi di atas para pekerja/buruh. Siapa mereka? Ya seperti para manajer atau mandor di pabrik. Dikotomi atau trikotomi seperti itu relevan pada masyarakat industri, sementara untuk masyarakat agraris kurang relevan. Maka muncullah Clifford Greetz dengan “Religion of Java” yang mengajukan trikotomi, yaitu abangan, santri dan priyayi. Pembedaan ini didasarkan pada kelas yaitu kelas atas priyayi, menengah santri, dan bawah adalah abangan. Kelas bawah berarti ekonominya lemah, santri lebih baik dengan pekerjaan pedagang dan priyayi sebagai bangsawan dan pegawai. Trikotomi tersebut juga memasukkan unsur agama/religi, tradisi dari mereka. Kaum abangan adalah mereka yang masih dominan bertradisi jawa, meski Islam, simbol-simbolnya masih minim. Sedangkan santri adalah mereka yang memiliki simbol2 islam lebih dominan, misalnya ditandai dengan kitab-kitab berbahasa arab, haji, dan pakainnya. Sementara priyayi, adalah Hindu. Pembedaan ini sebenarnya tidak mutlak, masih ada percampuran-percampuran misalnya ada juga priyayi yang beragama Islam. Namun dengan trikotomi ini dengan jelas bahwa kaum Abangan adalah kaum yang lemah, baik dari sisi ekonomi dan agama (muallaf).

Kata abangan, dalam konteks budaya Jawa dapat dirujukkan kepada tahapan manusia yang masih lemah, sebagai bayi “merah”. Populernya masih “pupuk bawang”, seperti bawang merah, belum tahu banyak dan perlu dibimbing. Itulah yang digambarkan oleh Geertz dalam “Religion of Java”nya.

Derita Kaum Abangan

Istilah abangan menjadi populer melalui Geertz, di tahun 60-an. Namun, istilah ini diperkosa oleh komunis menjadi alat propaganda politik adu domba hanya demi meraih kekuasaan. Seperti Marxis lainnya, PKI menempatkan kaum abangan sebagai proletar dan yang layak menjadi musuh bagi mereka adalah borjuis. Namun siapa borju itu? Maka yang paling jelas adalah kaum santri (para pedagang). Dan tentu para kyainya sekalian, karena merekalah yang menjadi tumpuan para kelas menengah tersebut. Sudah lemah ekonomi, kaum abangan diekploitasi untuk memusuhi para santri yang selama ini hidup rukun di desa-desa. Sungguh kejam dengan memanfaatkan kaum abangan menjadi alat politik semata.

Berbeda dari itu, Soekarno mendekati kaum abangan dan mengambil jiwa, spiritnya yang tak kenal menyerah, kuat dalam kemelaratan dan terus berjuang demi kehidupannya dan melahirkan ideologi Marhenisme. Mereka kaum petani (abangan) adalah orang-orang yang setia pada profesinya, meski tidak menjadikan kaya tetapi tetap ditekuni demi mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Memasuki era 80-90an, setelah melewati masa pembangunan yang demikian gencar dan cepat, kaum abangan sudah bergeser pengertiannya. Kemakmuran yang sudah mulai banyak, simbol-simbol agama Islam sudah dominan, lagi-lagi kaum abangan menjadi sasaran tembak dari sekelompok orang, dicap sebagai kaum kafir, kaum sesat. Di sini kaum abangan menjadi musuh dari Islam, berbeda dengan PKI yang menjadikannya alat.

Sosok Gus Dur, seperti Soekarno berusaha menempatkan kaum abangan tidak didefinisikan sebagai alat atau musuh politik, tetapi abangan sebagai kaum marginal, baik dari sisi ekonomi dan agama (seperti yang dilakukan oleh Geertz pada mulanya). Kaum minoritas menjadi kaum yang sering dibela oleh Gus Dur, meski dia harus berhadapan dengan rezim orde baru ataupun dari kalangan Islam sendiri. Gus Dur juga berusaha menciptakan idiom baru, Kyai Kampung sebagai representasi kaum santri yang peduli kepada kaum abangan. Bagaimanapun mereka yang masih lemah dan kurang sempurna keislamannya perlu didorong untuk mencapai kesempurnaan, dan itu akan berhasil jika tidak menjadikannya mereka musuh yang harus dihancurkan.

Apakah memang demikian nasib kaum abangan, yang sudah jelas-jelas lemah hanya dijadikan alat politik dan amunisi permusuhan? Layakkah sebuah kefakiran, kemiskinan dijadikan pembenar bagi kita untuk memberi cap kepada mereka kafir dan harus masuk neraka? Sungguh malang benar nasib kaum abangan, dibantu tidak, tetapi hanya “dipisuh-pisuhi” belaka. Apa mungkin mereka akan hormat dan mengikuti jalan mereka yang membenci dan memisuhinya???