Kisah Si Jarum Suntik

Jarum suntik, terbungkus rapat, tersegel, kedap udara dan steril dan berjajar rapi di etalase apotik. Nun jauh di tempat lain, di tong sampah dekat rumah sakit, bertumpuk jarum suntik yang kotor, tak utuh dan berkuman. Bekas.

Bagi penjaga apotik atau penjual jarum suntik, bertemu yang ada di tong sampah tersebut bukanlah hal yang menarik hatinya. Sebab baginya adalah bagaimana yang ada di etalase harus terjual. Standar bersih dan sehat adalah motonya dalam menjual. Sebaliknya bagi pemulung, yang ada di tong sampah adalah rezeki, yang dicari untuk dijual. Jarum suntik menjadi sebab mendapatkan uang.

Kita sering berposisi sebagai penjaga apotik dalam memperlakukan orang. Menilai orang lain tak berguna, berbahaya dan kotor. Namun, seringkali kita juga bersikap layaknya pemulung, menilai orang hanya karena dia mendatangkan rezeki, tak peduli. Itu wajar, karena sudut pandang dan kepentingan berbeda yang dijadikan dasarnya.

Seorang Ayah/Suami adalah tiang keluarga, pemimpin, teladan. Pokoknya pahlawan bagi istri dan anak-anaknya. Tetapi di luar, ia kadang hanyi jadi pendengar atau penonton saat kongkow di warung kopi. Atau hanya jadi bahan guyonan saat berkumpul dengan teman-temannya. Tak ada pahlawan di luar rumahnya.

Namun, jauh di atas itu semua, kita perlu mencoba untuk melihat pada penjaga apotik atau pemulung, bukan mengambil cara pandang mereka. Anda mungkin akan seperti orang yang phobia pada jarum suntik, jangankan disuntik, melihat saja sudah risih. Bahkan dihadapan dokter spesialispun berani menolak untuk disuntik. Atau anda begitu bergantunya pada jarum suntik, sehingga dihadapan mantri anda berani memaksanya menggunakan jarum suntik.

Saya yakin, tidak semua dari kita adalah suka disuntik. Tetapi saya juga yakin, sebagiannya adalah sangat ahli menyuntik.