Pernikahan kaum sejenis (Gay, Lesbi) diperjuangkan di mana-mana. Semakin menunjukkan kemenangan mereka. Jika sebelumnya ditentang banyak negara, namun juga tidak sedikit negara yang secara bertahap melegalkannya. Pernikahan model ini lebih menonjol pada budaya-budaya yang sudah demikian maju dari sisi materi. Boleh jadi tradisi itu lahir dari berkuasanya materi atas jiwa-jiwa manusia. Transaksi “dagang sapi” menjadi model utama dalam pergaulan masyarakat semacam ini.
Kata Presiden kaum Jancuker, “Jika cinta saja kau beli, maka kau akan rela menjual apa saja demi cinta”. Pernikahan yang sudah seharusnya kemudian menumbuhkan rasa cinta kasih sudah tidak demikian sakral, karena itu semua bisa dibeli dengan materi. Kita yang konon sangat menentang pernikahan model gay-lesbi ini secara diam-diam tidak pernah memperjuangkan pernikahan dan rumah tangga yang diliputi rasa cinta kasih. Sementara mereka begitu gigih berjuang menunut pengakuan haknya, “seks, bahkan cinta asal sama-sama setuju dipertukarkan adalah barang legal, tak peduli apakah itu sejenis atau bukan”.
Dengan demikian menjadi wajar, jika bencana ditimpakan kepada masyarakat, bahkan secara umum, ketika perkawinan sejenis ini menjadi legal. Ini dari sudut pandang agama. Bukankah perkawinan sejenis hanya salah satu bentuk atas kuasanya materi atas jiwa manusia?
Maka, perlu perjuangan ekstra bagi kita yang menentangnya : masih ada model pergaulan, transaksi yang tidak harus berdagang. Masih ada cinta dan kasih sayang di dalamnya yang layak untuk diperjuangkan.
Andai saja, setiap rumah tangga yang ada begitu kuat memperjuangkan ini, niscaya kengototan kaum gay/lesbi tidak sekuat seperti sekarang ini.
Cintailah Istri/Suami anda. Ajaklah bersenggama di saat tanggal tua, agar tak tertukar dengan uang belanja.