CATATAN DARI “SANG KIAI”
Sore ini, aku mengajak anak istriku menonon sebuah film, yakni Sang Kiai. Ada beberapa catatan yang bisa kubagikan, meski saya yakin seyakin-yakinnya anda akan mempunyai pandangan dan catatan tersendiri atasnya.
Sungguh, sejak awal film diputar, rasa dalam dada ini sudah bergolak. Sang sutradara mampu mengajakku untuk menonton dengan perasaan. Air mata tak bisa kubendung (cengeng kali saya). Bagaimana serdadu Jepang dengan pongahnya “menyerbu” Tebuireng. Dengan sigap sosok, ayahanda Cecep Karim Hasyim dengan sontak naik ke lantai dua, dengan membawa bendera merah putih melawan sikap arogan serdadu-serdadu itu. Tak berhenti sampai di situ, bahkan sepanjang film, andai saja anakku bisa tidur nyenyak, mungkin aku leluasa mengucurkan air mata begitu nikmat rasanya. Bahkan istriku yang baru mengenal NU melaluiku, tak kuasa haru dan terhanyut dalam cerita.
Sang sutradara begitu teliti, berusaha menggambarkan detail peristiwa. Salah satu episode di Jembatan Merah menghadang Mallaby, benar-benar di Jembatan itu. Kulihat ada dua truk Brimob yang aku yakin waktu shooting menutup jalan kembang Jepun. Lokasi penjara Kalisosok, desa Teburireng dengan sungainya juga demikian. Bahkan tindak-tanduk Kiai, sampai cara wudlunya kulihat begitu diperhatikan oleh Sutradara. Dus secara keseluruhan, ku menangkap sosok yang begitu lengkap, baik konteks dan tuturnya.
Apalagi, ini yang membuatku tertarik selama menonton. Kisah mispersepsi yang menimbulkan kontroversi antara Kiai dan Harun (santrinya) yang sebelumnya begitu dekat, sejalan, namun Harun memilih jalan berbeda ketika mempersepsikan Kiai telah tunduk pada Jepang. Toah diujung cerita, Harun dengan beraninya (mungkin nekatnya) menembak Wallaby, bisa jadi ini sebagai bentuk menebus rasa berdosa atas kesalahpersepsiannya terhadap sikap Kiai.Sedari dulu, sikap kontroversi atas sikap Kiai sudah jamak lumrah. Namun Kiai selalu bilang, “apa aku harus ceritakan semua yang kupikirkan?”
Di penghujungnya, utusan Jendral Sudirman memohon Kiai untuk melakukan hal sama, mengeluarkan Resolusi Jihad, ketika Belanda masuk lagi (agresi tah 1947). Namun Allah berkehendak lain, di saat mengucap “Masya Allah...Astaghfirullah” dalam posisi duduknya mereaksi laporan kebrutalan Belanda yang sudah sampai Malang mendekati Surabaya, beliau dipanggilNYA. Jadi saya kepikiran, apa yang terjadi kira-kira saat itu (agresi Belanda) resolusi itu keluar lagi? Hanya Allah yang mengetahuinya.
Bukan tugas kita untuk menduga-duga atau mencoba cari tahu jawabnya. Yang penting, bagaimana nasib bangsa kita ini selanjutnya di tangan kita.