Pengantar :
Para leluhur kita dahulu sudah mengajarkan kepada kita untuk bisa memahami posisi kita hidup di dunia (“dunung marang dumununge”). Dalam khazanah budaya kearifan lokal, saya yakin itu muncul. Karena persoalan posisi manusia dalam hidup di dunia ini menjadi persoalan manusia sejak pertama. Bahkan munculnya agama-agama di dunia ini tak lepas dalam rangka memberi tahu dan menerangkan akan posisi manusia dalam kehidupan dunia.
Ajaran Luluhur Jawa : dari Suluk “Panduking Dunungan” karya Raden Tumenggung Sastranegara
Manusia diajarkan untuk tidak hanyut dalam kehidupan di dunia ini. Baik kehidupan yang dirasakan itu mengasyikkan ataupun menyakitkan.
“Poma-poma anak putu mami, aja tungkul dunya lan kapenak, dene tan ana wekase, tan ana wadinipun, lara pati sira lakoni, tan lana ananira, nora wande mantuk, nora jenak neng dunungan, jroning dunya den padha sira prihatin, aja sah paguneman”
(“Anak cucuku, jangan kau hanyut dalam kehidupan dunia dan kenikmatan, sebab itu akan tiada habisnya, tak ada rahasia yang kaudapatkan, sakit dan kematian pasti akan kaujalani, bagaimanapun tak ada yang kekal, semua akan kembali, kamu pasti tidak jenak di dunia ini, maka hendaklah kalian prihatin, jangan banyak omong”)
Dalam suluk tersebut, nasehat dari para sesepuh kita dulu untuk tidak tertipu keadaan dunia, tertipu dengan yang dinikmati di dunia, sebab posisi (keberadaa) di dunia hanya sementara, pasti akan kembali (pulang). Dengan prihatin, maka kita dalam hidup di dunia akan menemukan banyak rahasia kehidupan yang berguna bagi bekal kepulangan nanti.
Oleh karena itu, bagi kita adalah berusaha menggali rahasia dalam kehidupan kita tersebut.
“Supaya jebeng antuka wisik, yen tan nemen mongsa den-wejanga, den-sareh amet galihe, ewuh wong takon dunung, marga rusit repit aremit, pirantine wus teka, jebeng aja tungkul, poma-poma den-waspada, raganira lir lungan sipeng ing margi, pasthi tan wande pulang”.
(“Agar mendapatkan petunjuk tentang rahasia itu, jika tanpa kesungguhan, meski banyak nasehat, maka akan sia-sia. Hendaknya gunakan hati yang dalam untuk memahaminya, jangan sungkan bertanya. Jika tidak, maka bisa jadi kalian tidak bisa pulang, karena menginap di jalanan”).
Kesungguhan dalam hidup mencari bekal kehidupan kelak di akhirat adalah modal dasar yang mutlak. Agar tidak tersesat, maka jangan pernah malu atau malas bertanya kepada ahlinya, mengenai jalan kepulangan tersebut.
Jangan pernah merasa cukup dengan berbekal tulisan, buku/kitab. Pelajari ilmu hidup dan kehidupan ini agar semakin lengkap. Carilah dan gapailah ilmu itu hingga kita mencapi pemahaman dan mengerti betul posisi (dununge) pribadi dalam hidup ini.
“Aja lali ing namanireki, aja dumeh sira wruh ing sastra, aja tungkul sastra bae, yen durung ngolih tuduh, guguruwa mupung ngaurip, kang anom lan kang tuwa, tan lana neng dunung, tan wande tekeng ngakerat, raga iki nora wurung pulang siti, jebeng paekanana”.
(Jangan lupa diri (namamu), jangan merasa sudah hebat karena menguasai sastra/kitab, jangan terbelenggu mempelajarinya, jika belum mendapatkan petunjuk, maka bergurulah, baik yang muda, tua, carilah dunungmu (posisimu dalam hidup ini sampai akhirat kelak), sebab jasad raga ini pasti akan kembali ke tanah, kemanakah dirimu?)
Penutup
Banyak ajaran dan nasehat dari para leluhur kita dulu jika mau dipelajari dan diperhatikan memuat anjuran yang begitu mulia. Memahami posisi (dan peran) kita dalam kehidupan yang sedang dijalani adalah hal mendasar dan penting bagi manusia. Sebab manusia lahir dan diciptakan tidak dengan sia-sia. Apakah manusia sendiri yang akan menyia-nyiakannya?
Mudah sekali kita baca, namun dipraktekkan, tidak mudah bukan????
Wallahu ‘alam