Tembang Lir Ilir : Carilah Bekal Meski Itu Sulit

Pengantar
Tembang “Lir Ilir” demikian populer di kalangan masyarakat Jawa. Bahkan muncul beragam versi tembang maupun pemaknaannya. Salah satu penafsiran atas tembang tersebut adalah kaitannya dengan konteks perkembangan Islam di tanah Jawa di masa kerajaan Demak. Bahwa syair ijo royo-royo merupakan deskripsi akan keberhasilan penyebaran Islam. Namun, dalam pandangan saya, tembang lir ilir adalah tembang yang memuat pesan atau seruan kepada manusia untuk selalu mempersiapkan diri menyongsong kehidupan akhirat kelak.

Beberapa kata yang dipilih memiliki makna spesifik yang bisa dimaknai beragam. Seperti kata ijo royo royo, bocah angon, belimbing, dodot dan lainnya. Namun buat saya pemilihan kata penganten memberi ketegasan makna bahwa tembang Lir Ilir ini adalah pesan ajaran tentang mencari bekal di kehidupan dunia untuk akhirat di kemudian hari.

Syair

 Lir ilir, tandure wus sumilir
Tak ijo royo royo
Tek sengguh penganten anyar

 Bocah angon, Peneko blimbing kui
Lunyu-lunyu peneko
Kanggo masuh dodot iro

 Dodot iro, kumitir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono
Kanggo sebo mengko sore

 Mumpung jembar kalangane
Mumpung padang rembulane
Yo..surako..surak....(Hiyo)

Pembahasan

“Tandur” sebagai Lambang Proses Kehidupan
Kehidupan manusia di dunia adalah proses, dari dalam kandungan, kemudian lahir bayi, anak-anak, remaja, muda, dewasa, tua dan mati. Itu adalah proses alamiah yang wajar dan lazim. Semua manusia selalu mengikuti proses yang demikian. Demikian pula “tandur” adalah sebagai simbol proses kehidupan, dimana masyarakat Jawa menanam (tandur) benih, tumbuh, berbuah dan mati. Untuk bisa melalui proses tersebut, manusia bekerja, beraktivitas yang bertujuan untuk bisa hidup wajar dan layak dalam kehidupan.  Itu semua adalah Lir Ilir, upaya-upaya untuk berproses, bertumbuh dan berkembang. Sampai pada tahap tertentu, manusia sudah mulai menunjukkan identitas diri sebagai manusia dan makhluk sosial. Tanamannya sudah mulai menampakkan diri. Tanaman padi yang ditanam sudah kelihatan jelas akan berbuah, sudah ditiup angin ke sana kemari (tandure wus sumilir) dan benar-benar subur tumbuh berkembang dengan baik (ijo royo-royo). Tahap ini dalam proses manusia adalah tahap dewasa, meski belum berbuah. Kondisi dalam usia-usia tersebut sudah mulai kena terpaan angin, namun jelas sebagai manusia ada upaya untuk tetap bertahan dan bisa melalui terpaan angin tersebut. Jika itu hanya angin semilir tentu tidak membahayakan. Sebelum petaka yang lebih besar datang, maka dinasehatkan mengingat akan kematian (tak sengguh penganten anyar).

“Penganten” sebagai Lambang Kematian
Orang Jawa seringkali menafsiri penganten itu sebagai kematian (dalam tafsir mimpi). Mengapa? Penganten adalah wujud bersatunya dua jiwa dalam ritual sakral. Istri atau suami dari proses tersebut disebut sebagai garwo (sigarane nyowo atau belahan jiwa). Manusia hidup di dunia ini ibaratnya jiwa yang masih belum genap atau sempurna. Kesempurnaan itu jika sudah mati dan memasuki alam barzah dan tersibaknya tabir rahasia kehidupan. Hakikat kehidupan manusia di dunia terbuka dengan gamblang di alam tersebut. Kembalinya kesadaran sempurnya tersebut akan terjadi setelah proses “penganten” atau kematian. Jiwa yang meninggalkan dunia akan menemukan pasangannya sehingga kesadaran hakiki diraihnya. Namun, sekali lagi itu bukan proses yang otomatis. Tercapainya kondisi tersebut dapat tercapai hanya dengan persiapan yang matang di dunia. Oleh karena itu perlu mengupayakan meski itu susah payah. Sebab itulah tugas manusia yang sebenarnya di dunia ini.

“Bocah Angon” sebagai Lambang Pendidik
Tugas manusia adalah sebagai penggembala, pendidik bagi dirinya (jiwanya) sendiri agar bisa kembali pulang dalam keadaan selamat. “Bocah angon” atau penggembala bertugas membawa ternak-ternaknya mencari makan. Tetapi jauh lebih penting dari itu adalah mengembalikan ternak ke dalam kandang asalnya. Tiadk sekedar urusan makan dan minum sebagai upaya untuk bertumbuh dan berkembang. Agar bisa mengembalikan ternak (jiwa) tersebut ke tempat asal dengan baik, maka manusia harus mencari petunjuk, ajaran atau bimbingan (blimbing).

“Blimbing” sebagai Lambang Islam
Kata “blimbing” dekat dengan kata “bimbing”, sehingga buah blimbing tidak sekedar bermakna untuk menyegarkan atau kesenangan dalam hidup. Suatu saat bisa menjadi obat, seperti blimbing wuluh yang tidak ada sudut. Bimbingan dengan lambang “lima belahan” pada buah blimbing merujuk pada ajaran dan bimbingan Islam, yakni rukun Islam. Inilah fondasi ajaran untuk bisa menjadi penggembala yang baik yang bisa memulangkan jiwanya, mengantarkan kepada pelaminan hakiki. Namun disadari bahwa untuk mendapatkan itu tidak mudah, licin dan banyak rintangan (dari semut atau rang-rang). Jika tidak hati-hati bisa jatuh dari pohon. Maka lunyu-lunyu penekno, meski licin tetaplah panjat pohonnya untuk mengambil blimbing tersebut. Untuk apa buah itu?

“Dodot” sebagai Lambang Raga (Kehidupan Dunia)
Buah blimbing yang didapat adalah untuk mencuci pakaian (masuh dodot). “Dodot” adalah lambang diri, raga. Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, jiwa manusia terhalangi oleh kotoran-kotoran yang ada, sudah terlumuri oleh dosa karena terkena dampak kehidupan (kumitir) sehingga jiwa itu rusak (bedhah ing pinggir). Oleh karena itu perlu dibersihkan, ditambal, diobatai (dondomono) dan diperbaiki, diperindah (jlumatono) melalui bimbingan Islam untuk menghadap kepada Sang Khaliq (sebo).

“Sebo” sebagai Lambang Menghadap
Kematian adalah pintu menuju proses mempertanggung jawabkan amal dalam persidangan Sang Khaliq. Sebuah perjamuan (sebo), pertemuan dengan Sang Pencipta. Perjamuan tersebut akan terjadi ketika manusia sudah tutup usia (mengko sore). Tembang ini mengajarkan bahwa pertemuan tersebut harus disiapkan seperti yang sudah diuraikan sebelumnya.

“Jembar Kalangane” sebagai Lambang Keleluasaan Gerak (atas Ruang)
Konteks lagu ini adalah dinasehatkan kepada semua manusia, baik muda, tua atau lanjut usia. Namun diingatkan bahwa perlu diingat bahwa upaya mencari bekal kehidupan akhirat kelak harus dimulai saat ini (apalagi jika masih muda usia). Selagi manusia masih bisa berbuat banyak (jembar kalangane). Dengan demikian, bukan soal usia, tetapi soal kesempatan yang ada. Kalangan itu liang lahat. Jadi kalau sudah sempit seperti di kubur ya sudah tidak bisa berbuat apa-apa.

 “Padang Rembulan” sebagai Lambang Kejernihan Pandangan (atas Waktu)
Padang Rembulan (terang bulan), malam yang baik untuk “melekan”, berjaga dan beraktivitas. Padang bulan, sebagai simbol keleluasaan waktu meski sudah malam (sebab terang bulan yang puncak pada tengah malam). Oleh karena itu nasehatnya selagi masih ada waktu maka berusalah mencari bekal untuk kehidupan akhirat kelak.

“Surak” sebagai Lambang Respon
Anda mungkin pernah mendengar baris terakhir ini “yo surako...surak hore”.. atau surak hiyo atau surak hayo. Ini adalah respon atar pesan, ajakan dari tembang Lir Ilir. Kita bisa menanggapi hanya sekedar rame-rame atau nggih boten kepanggeh (ya tapi tidak serius atau sekedar hore saja), atau hayo mengajak orang lain (kurang perhatian pada diri sendiri) atau hiyo (iya...sanggup dirinya melakukan dan berusaha).

Penutup
 Sebuah tembang, tidak sekedar memberi keindahan dan kesahduan nada, tetapi diciptakan dengan membawa pesan sebuah ajaran atau ajakan kepada kebajikan. Semoga kecintaan kita pada tembang Li Ilir bisa membuka kesadaran untuk menerima pesan mulia tersebut.