NGANTUK

MENGANTUK



Menurut Prof. Damarjati Supajar, Javanolog yang sudah ternama, “ngantuk” dalam bahasa Jawa itu mempunyai akar kata “mantuk” (pulang). Dengan memahami akar kata ini, manusia Jawa diajarkan bagaimana memperlakukan sebuah kondisi mengantuk, sebuah proses menuju tidur (Jawa = Sare/Sareh). Bagi kita yang mau sedikit tenggelam dalam dunia makan sebuah kata, pemahaman proses mengantuk ke arah tidur, sebagai proses “mantuk” (pulang, kembali) akan membimbing ke arah pemahaman akan peristiwa tidur itu sendiri sebagai peristiwa “kematian”.



Orang Jawa melihat, bahwa tidur, (sareh) adalah proses “meletakkan semua”, menanggalkan semua beban, pikiran dan rasa yang sudah dialami selama seharian penuh. Hikmah dari pelatihan ini adalah bagaimana mempersiapkan diri terhadap kematian, meninggal dunia yang sesungguhnya. Setiap hari, kita dilatih untuk selalu berniat, dengan sadar pulang, kembali kepada Sang Pencipta, dengan menanggalkan semua yang selama seharian penuh menjadi beban dan ditemui.



“Ngantuk”, yang ditandai dengan “angop” (menguap) adalah pertanda bahwa jiwa kita memaksa diri untuk pulang. Energi untuk bertahap dalam hidup melek ini sudah berkurang. Jika itu sudah tak tertahankan, maka bersegeralah berniat dengan sadar untuk pulang. Sehingga tidur anda bukan sekedar memejamkan mata, merebahkan badan dan berkhayal atau menghitung angan-angan.



Jika anda sudah terbiasa dengan do’a mau tidur “bismika allahumma ahya, wa bismika amuut”. Maka rasakanlah, pemahaman itu akan menemukan pertemuan persenyawaan yang begitu indah. Itulah bukti bahwa Islam bagaimanapun mampu diterima dan tumbuh subur di Jawa dan di belahan bumi lainnya.



Wallahu ‘alam