TRADISI KEILMUWAN : LITERER DAN BERGURU (LISAN)

Tidak semua bangsa di dunia ini bersamaan dalam mengenal huruf atau tulisan. Demikian pula, tidak semua bangsa menemukan jenis huruf yang seragam sebagai simbol dari komunikasi mereka. Bangsa Mesir misalnya sudah jauh lebih dahulu dibanding masyarakat Jawa mengenal budaya tulisan untuk mencatat berbagai kegiatan kehidupannya. Dengan demikian, perbedayaan capaian ilmu pengetahuan dan kebudayaan masing-masing bangsa bisa berbeda, karena melalui tulisan itu semua bisa diwariskan dari generasi ke generasi. Itulah pentingnya buku, pentingnya tradisi literer dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Melalui catatan, tulisan dimanapun ditempatkan, tulisan telah menjadi sumber informasi dan ilmu pengetahuan yang demikian luar biasa. Kebiasaan orang-orang kuno yang mengajarkan nasehat ataupun ilmu melalui lisan, tutur telah tergantikan. Ilmu pengetahuan yang awalnya demikian kuat diyakini, melalui lisan semakin lama semakin berkurang nilai informasinya, semakin kacau makna kedalamannya dan akhirnya menjadi mytos belaka. Melalui tradisi baru, tulisan dan catatan, transfer ilmu pengetahuan dianggap menjadi lebih stabil dan valid akan isi informasi yang tersampaikan. Demikianlah akhirnya budaya tulis menjadi sebuah jalur transfer ilmu serta penggalian ilmu pengetahuan dari generasi ke generasi.



Namun, sejarah Islam telah memberikan sebuah bukti yang demikian kuat untuk menjungkirbalikkan itu semua. Melalui seorang manusia yang Ummy, tidak bisa baca dan tulis, puncak dari segala ilmu pengetahuan manusia didapat. Ya beliau adalah Nabi Muhammad SAW. Beliau ternyata mampu menjadi pembaca yang baik. Membaca kondisi sosial, membaca bahasa alam sekitar serta mampu berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Wahyu Al Qur’an adalah sebuah bukti, bahwa puncak keilmuwan bukan didasarkan atas catatan dan tulisan. Bahkan semua nabi dan rasul menerima itu secara demikian, meski tidak semua rasul adalah ummy.



Tradisi berdialog dengan sesama, dengan lingkungan dan diri sendiri ternyata menjadi kunci utama dalam mencari ilmu. Dan buku, tulisan atau catatan hanyalah salah satu bagian dari itu. Maka tidak mengherankan mengapa pada masa kejayaan budaya Yunani, ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat, karena tradisi lisan untuk berdialog. Ada hubungan antara pencari ilmu (murid) dengan guru (sumber ilmu). Sementara catatan adalah sebagai wadah pengikat ilmu yang diperoleh. Demikianlah selayaknya kita berproses mencari ilmu. Dari dialog lisan dengan sumber, kemudian mencatat ilmu yang didapatkan dari proses itu. Inilah jalan Nabi Muhammad SAW. mencapai puncak keilmuwan dan spiritualitas.



Bagaimana dengan zaman sekarang?? Dengan uraian sebelumnya, maka saya menyimpulkan bahwa, catatan, tulisan, buku atau semacamnya adalah sebuah pintu dari beragam pintu ilmu pengetahuan. Namun ujung dari proses untuk mencapai pengetahuan adalah dengan dialog. Bagaimanapun catatan atau literatur adalah huruf-huruf yang bisu. Dia bisa dibaca sesuka pembacanya. Tulisan “waroeng pojok santri” bisa dibaca “warong santri gendeng”... oleh pembaca yang lagi gila. Atau orang buta huruf, bahkan tidak bisa dibaca sama sekali.



Oleh karena itu, maka tradisi berguru melalui lisan dan dialog adalah sebuah metode belajar yang paling utama. Dengan metode seperti itu sebenarnya kita sudah mengikuti jalan nabi muhammad saw. Jalan itu pulalah yang ditempuh oleh para imam madzhab dan para pewarisnya.



Wallahu ‘alamu bisshowab