Dalam prakteknya, biasanya kita tidak perlu menggunakan semua ilmu yang kita miliki atau kuasai. Hanya beberapa pokok saja yang benar-benar digunakan dalam melakukan sebuah perbuatan (amal). Biasanya juga, bahkan memang demikian adanya, butuh waktu dan biaya demikian luar biasa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang banyak. Akhirnya seola-olah tidak sepadan dengan kebutuhan dalam beramal. Dari sudut pandang tertentu bisa disebut merugi, atau tidak ekonomis dan efisien, karena input dan output tak sebanding, lebih-lebih bila yang menjadi takaran adalah materi, yang sifatnya jauh berbeda dengan ilmu pengetahuan.
Beramal, ibadah, atau apa saja bila didasari oleh ilmu, maka akan menjadi amal yang efektif (tidak selalu berhasil/diterima), tetapi efektif dalam pengertian adalah adanya efek bagi pelaku itu sendiri, minimal mempraktekkan ilmu yang telah dikuasainya. Efek yang paling diharapkan adalah adanya kualitas bagi yang melakukan dengan ilmu, dibandingkan dengan tanpa ilmu. Dengan demikian, ilmu yang banyak kita kuasai pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan kualitas amal kita.
Seringkali, manusia jatuh pada ketakjuban akan penguasaan atas ilmu pengetahuan serta keahlian yang dikuasai. Yang mana penguasaan itu hanya sebatas pada aspek ilmiyah belaka. Sehingga lupa akan kebutuhan untuk peningkatan kualitas amal yang diperbuat.
Maka, dari situlah kita perlu memperhatikan nasehat dari leluhur dan orang tua kita dulu...”padi semakin berisi, semakin menunduk” atau “pohon pisang yang sekali berbuah (berarti) sesudah itu mati” atau “air beriak tanda tak dalam”. Meski seseorang bisa menunjukkan kehebatan atas penguasaan keilmuwan, maka tidak berarti dia orang yang benar-benar hebat, demikian pula sebaliknya, ketika seseorang mampu menunjukkan amal yang banyak, bukan berarti dia sudah memahami keilmuwan yang banyak.
Wallahu 'alamu bisshowab