Tak Ada Perbuatan yang Sia-Sia

Pernahkah kita melakukan sesuatu perbuatan yang menurut kita sia-sia? Tentu jawabannya SERING. Dalam kepala kita sudah ada semacam pola atau kaidah yang membatasi, apa saja perbuatan yang kita kategorikan manfaat dan sia-sia. Andalah yang menentukan itu semua, bukan orang lain. Itu ekstremnya.



Di sisi lain, ada juga semacam fakta sosial (Emil Durkheim) atau struktur (Talcott Parson) yang sudah menjadi bagian dari diri kita (internalisasi), dimana itu semua sebenarnya milik bersama (sosial). Lebih kecil dari itu adalah miliki kelompok-kelompok. Dus, akan ada nilai, pranata, ukuran-ukuran dimana itu adalah sebagai nilai sosial, nilai kelompok dan individu.



Bisa jadi, duduk-duduk, atau kerennya kongkow-kongkow, bagi sebagian kelompok atau individu adalah sia-sia, namun bagi yang lainnya adalah tidak sia-sia. Manfaat atau sia-sia pada akhirnya, dalam kerangka berpikir seperti itu, kembali kepada pelakunya dalam memaknai (meaning).



Sebagai manusia yang beragama, dan mendasarkan kehidupannya kepada Tuhan, maka disitu ada nilai bahwa Tuhan tidak pernah menilai apa yang dilakukan oleh manusia itu sia-sia belaka. Semua perilaku dan amal manusia akan dijadikan hujjah atau bukti menyadarkan manusia, menegakkan keadilan bagi manusia.



Maka, dalam hal ini, manusia hendaknya bisa melakukan proses dialektika, dimana semua perbuatannya di satu sisi akan sangat subyektif, di sisi lain akan menjadi mutlak obyetif di hadapan Tuhan. Ketika kesadaran akan nilai obyektivitas mutlak itu sangat kuat, maka manusia akan selalu berusaha mencari makna dari perbuatannya yang akan membawa manfaat buat dirinya, karena bagaimanapun akan ada obyektivitas mutlak yang dihadapi.



Akan menjadi manusia yang bijaksana jika, tidak buru-buru menilai sia-sia atau manfaat dari perbuatan orang lain, ketika tidak mampu memahami dari sisi orang lain tersebut. Tentu jauh lebih mudah menilai perbuatan orang lain dengan nilai dan subyektivitas (atau yang diyakini obyektiv), dari berusaha memahaminya.



Semua kembali kepada diri masing-masing, akan menjadikan semua perbuatannya sia-sia atau memaknai (memberi makna) terhadap apapun yang dilakukan agar semua tidak sia-sia.



Wallahu ‘alamu bisshowaba