Sebagian dari kita mungkin sudah sering mendengar kalimat tersebut dan dijadikan bagi sebagian kalangan sebagai KAIDAH BESAR dalam menentukan sah atau tidaknya sebuah kegiatan atau amal ibadah. Bahkan siapa saja yang melakukan amal perbuatan melanggar kaidah ini hukumnya adalah SESAT dan dijamin masuk neraka. Wah-wah bahaya sekali nampaknya. Dan begitu kokoh serta valid kaidah tersebut, sampai-sampai begitu konsekuensinya.
Jika diartikan (dalam konteks kaidah tersebut), “Seandainya hal itu baik, tentu mereka para sahabat (demikian pula Nabi) akan mendahului melakukannya”. Gampangannya begini, andai amal yang kalian lakukan itu baik, maka mereka tentu sudah melakukannya. Jika mereka (para sahabat dan nabi) tidak pernah melakukannya, maka apa yang kalian perbuat PASTI TIDAK BAIK.
Benarkan demikian? Mari kita uji kaidah (logika) tersebut :
1) Dalam Al Qur’an kaidah atau pernyataan tersebut, setelah dilacak merujuk pada Surat Al Ahqaf (46) : 11. Namun logika tersebut ternyata ucapan dari orang-orang kafir yang menolak kebenaran Al Qur’an. Untuk lebih lengkapnya silahkan anda cermati tulisan berikut http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/04/apa-kaitannya/ . Namun saya berpesan, bacalah dengan ketenangan berpikir. Apakah mereka yang sering menggunakan kaidah tersebut adalah meniru orang-orang kafir? SILAKAN ANDA RENUNGKAN dan JAWAB SENDIRI.
2) Pernyataan tersebut muncul dalam Tafsir Ibnu Katsir ketika membahas Surat An Najm ayat 38 dan 39, tentang “pengiriman pahala” yang memang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah. Apakah kemudian beliau imam Ibnu Katsir menghukumi amal tersebut dengan kaidah tersebut? Bukan itu konteks penrnyataan beliau. Untuk lebih jelasnya silakan anda baca tulisan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/20/jika-itu-baik/ .
3) Jika kaidah tersebut benar-benar demikian hebatnya, dan sangat mengatur (membatasi), maka ada pertanyaan : apakah kebaikan itu ada pada jaman sahabat dan Nabi Muhammad saja? Sementara di luar itu tidak ada kebaikan? Bagimana kebaikan yang dilakukan oleh umat atau nabi yang sebelumnya? Misalnya zaman nabi Isa, Zakaria, Yahya, Soleh, A.S. dsb.? Sebab dengan kaidah tersebut, maka seolah-olah menegaskan bahwa apa saja yang baik sudah pasti dilakukan oleh para sahabat. Di luar mereka tentu “kebaikan” bukan menjadi kebaikan. Katakanlah yang ringan menjadi sia-sia. Jika ingin menelusuri bantahan dengan alur pemikiran dan sejumlah hujjah dengan model demikian silakan baca artikel berikut : http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/08/lau-kaana-khoiron/ .
Pembuktian dengan mengganti obyek dan subyek
Berikut ini adalah cara saya melakukan uji kaidah tersebut dengan cara mengganti subyek dan obyek yang ada dalam kaidah. Maksud dari cara ini adalah untuk mencari kevalidan dari bangunan kaidah : SYARAT dan JAWAB, atau PREMIS dan KONKLUSI dari sebuah logika. Yang saya maksud adalah mengganti obyek “baik” dengan “jahat” sedangkan subyek “sahabat” saya ganti dengan kaidah “penjahat”. Dengan demikian akan muncul kaidah kebalikan/oposisinya sebagai berikut :
“Seandainya hal itu jahat, tentu mereka para penjahat akan mendahului melakukannya”.
Dengan kaidah itu, maka hal yang jahat pasti sudah dilakukan oleh para penjahat. Apakah kaidah ini bisa anda terima?
Ada premis :
semua penjahat melakukan hal jahat
Yang anda lakukan adalah hal jahat
Maka, anda adalah penjahat.
Coba resapi alur berpikir tersebut. Apakah anda menjadi penjahat karena melakukan hal jahat?, katakanlah satu kejahatan saja, misalnya mencuri sandal tetangga. Atau sebaliknya, apakah semua kejahatan yang ada saat ini sudah pernah dilakukan oleh para penjahat sebelumnya?
Seorang Fir’aun yang benar-benar diabadikan sebagai manusia kufur, musyrik, dan sangat jahat bukan karena melakukan semua kejahatan, tetapi dia melakukan kejahatan yang “tidak semuanya”. Bisa jadi dia juga melakukan kebaikan dalam hidupnya. Faktanya adalah dia memelihara nabi Musa yang dihanyutkan di sungai nil, padahal saat itu seluruh bayi yang lahir di Mesir dibunuh. Namun kebaikan ini tidak serta merta menjadikan dia disebut sebagai orang baik.
Jadi, apakah kaidah tersebut bersumber dari Al Qur’an dan Hadits sehingga layak menjadi kaidah hukum agama? Anda tentu sudah bisa memahaminya. Berikutnya anda sudah bisa menentukan semua konsekuensi dari penggunaan kaidah tersebut, apakah membuat anda tercerahkan atau malah semakin menyempitkan pandangan anda terhadap agama? Karena bagaimanapun sebuah kaidah yang logis dan valid akan membantu kita lebih mudah dan mengerti berbagai aturan agama.
Wallahu ‘alamu bisshowab.