Pendahuluan
Akhir-akhir ini dan mungkin juga selanjutnya, dikeluhkan adanya berbagai masalah yang melanda di negeri Indonesia tercinta. Dari mulai soal korupsi, kenakalan remaja, kemiskinan, kerusuhan, dan berbagai kerusakan moral lainnya. Itulah yang diyakini menjadi penyebab berbagai kerusakan alam serta tata pemerintahan yang ada. Padahal dengan jumlah penduduk mayoritas muslim, tentu ini jadi aneh, mengapa bisa kerusakan moral begitu hebat terjadi?
Akar Masalah
Jika mau dicari sebab atau akar masalah kita akan menemukan banyak sekali yang bisa dijadikan penjelas atas kerusakan moral tersebut. Namun dalam tulisan ini, saya akan mengajukan dua (2) hal saja sebagai akar yang menurut saya paling kuat.
Hedonisme
Hedonisme adalah menuhankan kesenangan, keyakinan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Di sini nafsu menjadi yang dipuja, dikejar, dicari, dimulyakan, diTuhankan. Ketika nafsu kesenangan menjadi panglima dalam kehidupan, maka akan mengakibatkan kelalaian manusia pada tujuan hidup, makna hidup yang sebenarnya. Hedonisme melahirkan sikap konsumtif yang ujungnya memenuhi nafsu. Manusia membeli suatu barang bukan karena kebutuhan akan barang tersebut, tetapi lebih pada upaya menyenangkan diri, memuaskan nafusnya, baik nafsu pamer, nafsu bergaya dan sebagainya. Selanjutnya, masyarakat yang anggotanya sudah terjangkiti penyakit hedonisme akan rapuh dan mudah dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan kapitalisme, kepentingan ideologi-ideologi yang merusak.
Individualisme
Penyakit ini sebenarnya juga berakar dari hedonisme, sehingga orang hanya akan memperturutkan kepentingan dirinya sendiri. Tidak peduli orang lain, tidak empati pada kesusahan orang lain. Ibarat anggota tubuh, maka mata sudah tidak peduli jika hati sakit, tidak mau mengeluarkan air mata. Mulut juga tidak peduli jika gigi sakit, tanpa mengeluh, tanpa berdo’a. Meski orang tersebut ada dalam sebuah kelompok masyarakat, pada hakikatnya dia sudah busuk, mati dan tidak berfungsi. Jika hanya itu saja mungkin masih bisa hidup anggota badan tersebut, tetapi bisa jadi seorang indiidualis akan merusak tatanan bersama dalam masyarakat. Apalagi dalam masyarakat sudah banyak yang terjangkiti ini, maka ambruklah tatanan kebersamaan itu. Lagi-lagi akan mudah dikendalikan dan digoyang berbagai persoalan yang remeh temeh. Persoalan indiidu yang remeh menjadi persoalan besar dan dibesar-besarkan. Mirip infotainmen yang mengeksploitasi kehidupan pribadi menjadi isu masyarakat. Jadinya masyarakat menjadi masyarakat yang suka kasak-kusuk.
Solusi : Tashawuf
Banyak kalangan menyebut bahwa Islam adalah agama sempurna dan bisa memberi solusi terhadap persoalan kemasyarakatan yang akut tersebut. Selalu saja disebut Al Qur’an dan Sunnah (Hadits), kemudian diturunkan menjadi syariat. Secara gampangnya, hukum Islam adalah solusi paling cespleng. Apakah benar demikian? Berikut ini saya kutipkan pendapat Imam Syafi’ie.
Imam Syafi’i ra menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47].
Pendapat tersebut menyebut tashawuf sebagai ilmu pelengkap dari fiqih. Ilmu fiqh merupakan ilmu yang menjadi dasar adanya hukum/syari’at. Melalui ilmu tersebut, perintah, larangan atau nash dari Qur’an dan Hadits dirumuskan menjadi ketentuan hukum. Aturan hukum syariat sebagai implementasi dari Nash Qur’an dan Hadits, menjadi solusi dalam mengatasi persoalan kehidupan dunia dan akhirat. Selain itu juga menjadi rel dalam pelaksanaan keagamaan. Sementara tashawuf adalah jiwa, ruh dari pelaksanaan hukum itu sendiri. Sebab dalam tashawuf manusia diajari dan dilatih untuk terus menerus mensucikan diri, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Berbagai amal ibadah yang sudah diatur oleh syariat, yang disertai dengan tashawuf akan menumbuhkan rasa dan pengalaman dalam proses mensucikan diri dan mendekat kepada Allah swt. Sehingga kepandaian, kealiman dan ketekunan beribadah seseorang tidak dijadikan dorongan bagi manusia untuk menuhankan ilmu dan ketekunannya tersebut, tidak menjadikannya memperbesar nafsu untuk dipuji dan perasaan paling benar, karena tashawuf akan memberikan pelajaran akan adanya keunikan pengalaman masing-masing individu dalam proses implementasi syariat (fikih) tersebut. Meski yang dilakukan sama, tetapi bisa jadi mempunyai ragam rasa dan pengalaman, dengan tetap ke arah tujuan yang satu yaitu mendekat kepada Allah swt.
Oleh karena itu, betapa pentingnya tashawuf tersebut dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan beragama dan sosial. Sekali lagi Imam Malik menegaskan : “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fikih (perkara syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia ., hanya (dia) siapa memadukan keduanya terjamin benar”
Apa itu tashawuf?
Tashawuf adalah menelusuri jalan (tharikat) yang telah dilalui oleh Rasulullah, dimulai dengan Beliau berkhalwat (mengasingkan diri dari keramaian) dan bertahanuts (perenungan/kontemplas dirii) di gua hira. Kemudian Beliau menerima wahyuNya tentang perkara syariat , syarat untuk menjadi hamba Allah yang berisikan perintahNya dan laranganNya. Kemudian setelah syarat dipenuhi/dijalankan maka dilakukanlah perjalanan diri melalui maqom-maqom hakikat hingga sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla. menjadi muslim yang Ihsan atau muslim yang berma’rifat, muslim yang menyaksikan Allah Azza wa Jalla.
Tujuan utama dari tashawuf adalah membentuk manusia yang ihsan, yang dalam kehidupan perilakunya selalu menyadari akan kehadiran Allah swt, pengawasan dan keterlibatanNYA. Dengan menekuni tashawuf, maka dapat dicapai akhlakul karimah (akhlak yang mulia).
Jika pengertian tashawuf adalah demikian, mengapa menjadi salah dimengerti oleh sebagian pihak? Pembelajaran tashawuf sama dengan proses pembelajaran ilmu-ilmu lain dimana membutuhkan motode, guru dan bidang kajiannya. Dengan demikian, peran guru dalam hal ini menjadi sangat penting dan kesemuanya berujung pada guru termulia Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Yang diajarkan tashawuf
Jika syariat, hukum, fikih mengajarkan manusia pada ketundukan, ketaatan, keteraturan, ketertiban, maka tashawuf mengajarkan bagaimana memaknai itu semua. Bagimana memahami keteraturan tersebut sehingga benar-benar dirasakan bagi pelakunya. Dengan tashawuf, manusia tidak hanya ditakut-takuti dalam beribadah, sehingga akan lahir manusia-manusia munafiq. Atau sekedar mencari pahala, yang lagi-lagi bisa menjadikan manusia menyembah pada nafsu saja. Tashawuf memahami bahwa seluruh ibadah yang diatur dalam fikih adalah menjadi sarana merubah atau mentransformasikan diri menjadi insan yang berakhlak mulia. Tashawuf tidak mengajarkan syariat, ibadah sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai tahapan atau hal yang harus dilalui dan dilakukan untuk mencapai kedekatan dengan Allah swt.
Dengan demikian, tashawuf sebenarnya mengajarkan manusia untuk tidak menuhankan nafsu, diri sendiri atau keyakinannya. Tashawuf mengajarkan akan kemandirian dalam mencapai puncak kedirian yang merdeka dengan tetap bersinergi dengan jamaah, dengan tatanan keteraturan. Manusia dilatuh untuk membebaskan diri dari kekangan dan kendali nafsu, membebaskan manusia dari hedonisme yang nyata-nyata menjadi akar berbagai masalah di muka bumi. Demikian pula tashawuf mengajarkan cinta kepada Allah, mengajarkan mencintai kepada mereka yang cinta kepada Allah, sehingga kebersamaan dan kesatuan menjadi kuat. Ibarat tubuh, tubuh akan menjadi sehat dengan warga yang seperti itu. Sementara kepada lainnya diajak, diberi teladan melalui akhlak mulia untuk bersama-sama mencintai Allah.
Itulah masyarakat yang dibangun atas dasar nilai-nilai tashawuf, seperti yang ditegaskan dalam sebuah hadits dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Yunus [10]:62 ).
Penutup
Jika selama ini anda sering mendengar, bahwa Islam memberi solusi atas berbagai persoalan kemasyarakatan, maka tashaawuf adalah salah satu solusi yang bisa diajukan dan lebih mudah bisa dipahami oleh masyarakat luas. Namun demikian, berhati-hatilah jangan sampai memahami tashawuf sebagai ajaran anti syariat, ajaran penuh takhayul ataupun ajaran bagi pemalas. Jika demikian adanya, maka anda gagal memahami tashawuf.
Wallahu ‘alamu bisshowab.
Sumber referensi :
Zon Jonggol : “Tanda tanda seorang muslim telah beragama dengan baik dan benar”, diakses di
https://www.facebook.com/groups/warposan/doc/304569666247959/