Anak Sholeh

UNTUK MEMAHAMI HIDUP DI DUNIA, MUNGKIN KITA PERLU MENGINGAT DAN MERENUNGI SEBUAH KALIMAT YANG BIASA KITA KENAL DAN UCAPKAN KETIKA ADA ORANG MENINGGAL, YAKNI INNAA LILLAAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI’UUN...(Kita sesungguhnya milik Allah dan akan kembali kepadaNYA).

Apa kaitan kalimat tersebut dengan anak sholeh? Begitulah kira-kira muncul dalamm pikiran anda. Memang kalimat itu adalah disebut dalam Al qur’an ditujukan untuk menunjukkan orang yang bersabar atas musibah yang menimpanya. Tetapi itulah sebenarnya cermin dari pemahaman akan kehidupan dunia.

Kita hidup dunia ini bukan dalam peristiwa ajaib, tanpa ayah dan ibu (memang beberapa orang berbeda dengan kita, misalnya saja Nabi Isa a.s, Nabi Adam a.s, Hawa r.a, atau lainnya). Apapun itu, apapun bentuk kejadian itu, adalah kita berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNYA. Hidup di dunia ibaratnya adalah kita keluar dari kesadaran akan hal itu, oleh karena itu pada dasarnya hidup di dunia adalah perjalan, sebuah upaya untuk kembali kepadaNYA. Dalam khazanah ilmu masyarakat Jawa disebut Sangkan Paraning (asal – tujuan) Dumadi (Manusia).

Wa ilaihi rooji’uun, bukan sesuatu yang otomatis. Mungkin pernah kita dengar, “orang kalau udah mati ya berarti otomatis kembali kepada Allah/Tuhan?, orang yang sudah meninggal ya otomatis udah tenang, enak di sana? ...buktinya mereka tidak kembali..” Apakah demikian? Oh...jelas tidak. Bagaimana kita bisa kembali kepada Allah? Sedangkan jiwa kita terbelenggu dalam sangkar dunia, nafsu, harta, wanita dan kuasa. Jiwa kita akan terus menerus dan selalu (memohon) untuk terikat oleh kesenangan dan yang kita sembah selama ini.

Sejak nenek moyang kita dulu, sejak nabi Adam as, ya begitulah keyakinannya. Demikian pula leluhur kita, kakek nenek, bapak ibu kita semuanya seperti itu perjanalannya. Ketika beliau-beliau sudah berpulang dulu, meneruskan perjalanan yang abadi, maka akan sangat bergantung pada amal ketika di dunia, apakah mengikatkan jiwanya pada selain Allah? Salah satu amal yang bisa menyelematkan perjalanan mereka, mengurangi beban mereka dalam menempuah kembali kepada Allah adalah anak yang sholeh.

Hidup kita saat ini adalah sebuah perjalanan, bisa jadi meneruskan perjalanan orang tua kita atau kita mengikuti jejak perjalanan tersebut. Katakanlah, para leluhur kita menempuh perjalanannya mencapai jarak 50% (dari 100%), maka sebagai anak kita seharusnya dan didorong untuk mencapai perjalanan yang lebih dari itu. Jika para leluhur kita/orang tua kita sudah menempuh 80%, maka kita seharusnya mengikuti mereka dalam perjalanan tersebut, siapa tahu kita tidak bisa mencapai apa yan sudah dicapai oleh para pendahulu kita.

Itulah anak yang sholeh, anak yang mampu meneruskan dan mengikuti perjalanan kembali kepada Allah SWT. Yang dalam hidupnya berusaha dalam kesadarannya mendekat dan selalu berusaha agar lebih dekat kepada Allah SWT. Maka anak yang seperti itu tentu akan mendoakan para pendahulunya, dan tentu akan diridhoi Allah untuk meringankan beban dan dosa para leluhurnya. Demikianlah kita bisa memahami, mengapa para leluhur Nabi Muhammad SAW, dijaga dan disucikan oleh Allah. Ya..karena beliau adalah contoh sempurna sebagai anak yang sholeh.

Kita yang sudah mempunyai anak, tentu sangat berharap agar diberi anak yang sholeh. Tetapi apakah kita sudah menjadi anak sholeh bagi orang tua kita? Mungkin di antara pembaca sudah menikah tetapi belum dikaruniai anak. Maka, yang paling penting adalah itu tadi, mendapatkan tugas meneruskan perjalanan tersebut. Bagi yang sudah punya anak seperti saya, maka kewajibannya adalah menunjukkan perjalanan tersebut, memberi teladan bagaimana cara menempuah perjalanan tersebut, sehingga suatu saat mereka benar-benar akan mampu meneruskan apa yang sudah kita rintis saat ini.

Wallahu ‘alamu bisshowab