Lailatul Ijtima’ (12) : Neraca Amal
Bisa jadi banyak manusia yang mempunyai kebiasaan seperti Madit Musyawaroh Orang Terlanjut Kaya (karakter dalam sinetron berjudul Islam KTP), yaitu mencatat amal kebaikan yang dilakukan. Setiap perbuatan yang mendatangkan pahala ia catat. Sementara amal perbuatan yang mendatangkan dosa tidak dicatat. Kebaikan berpahala menjadi sesuatu yang sangat berharga, karena pahala, karena beratnya timbangan pahala tersebut.
Atau yang agak lebih fair adalah berusaha mencatat atau mengingat dua-duanya, yaitu pahala dan dosa. Semua ditimbang, diperhitungkan mana yang lebih besar. Ketika menemukan bahwa hari itu mempunyai timbangan pahala yang lebih berat, maka melegakan. Sementara ketika mengetahui akan timbangan dosa yang lebih berat, maka menyedihkan. Bahkan jika perlu menangisinya. Maka untuk menutup itu semua dia mencoba memperberat sisi timbangan pahalanya agar seimbang (minimal) atau lebih berat.
Mungkin malah sebaliknya, ada orang-orang tertentu yang hanya mencatat perbuatan berdosa. Amal yang berpahal tidak dihiraukan. Yang terjadi akibatnya adalah sangat tersiksa dan frustasi untuk berbuat kebaikan yang berpahala, karena merasa dosanya sangat menumpuk.
Semua itu bagi mereka yang memandang neraca amal ibarat neraca/timbangan beras, atau timbangan emas. Selalu ada dua sisi yang berbeda yang dilawankan, sisi kanan atau kiri. Pernahkan anda membayangkan bahwa neraca amal itu seperti timbangan berat badan yanh lazim digunakan di klinik-klinik. Tidak ada dua sisi (yang ditimbang dan yang mengukur/menimbang), tetapi berat dicatat melalui angka penunjuk. Bertumpuk menjadi satu, yaitu berat saja. Biar lebih modern, petunjuk dimunculkan melalui model digital.
Persoalan timbangan amal, bagi manusia adalah sebuah dilema. Problematika yang rumit dan menggelisahkan. Apapun itu. Sampai-sampai Abu Nawas membuat syair yang sangat terkenal
Ilahii lastu lil firdausi ahlahu
Wala aqwa ala annaaril jahiimi
....dzunuuby mitslu a’adadirrimali
Fadzanbyy zaaidun kaifa ihtimaali...
.......
Bagi saya, berusaha memahami neraca amal tersebut adalah neraca seperti timbangan berat badan itu, meski sebenarnya juga tidak persis sekali. Sebuah syair lagu....”hati adalah cermin, tempat pahala dan dosa ....”
Ya...hati itulah alat yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita untuk berlatih menimbang amal diri kita. (soal mizan/neraca yang hakiki, yang tidak pernah dan akan keliru itu menjadi milik Allah SWT). Kita bisa berlatih menimbang, menghisab diri kita sendiri sebelum dihisab yang sebenarnya. Hati kita ibarat cermin yang bersih cemerlang yang mampu memantulkan cahaya dengan jelas. Dengan perbutan dosa, maka cermin itu telah kita tutup dengan sebuah noktah hitam yang jadi penghalang, menjadi perusak fungsi cermin. Semakin sering, maka semakin tebal dan meluas warna hitam tersebut. Sementara amal sholeh (berpahala), maka dapat diibaratkan sebagai pembersih, penghapus noda hitam tersebut.
Semakin kita rajin membersihkan, maka anda akan semakin memahami bagaimana kecermelangan cermin itu. Seorang cleaning service yang malas tentu tidak akan tahu bedanya kaca yang bersih benar-benar bersih dengan kaca yang kelihatan bersih.
Semakin anda kuat dan mendalami istighfar, maka akan semakin menyadarkan bahwa ternyata cermin kita sudah demikian kotor. Bahkan kita akan mampu dan tajam dalam melihat setitik debu sebagai sesuatu yang mengotori cermin tersebut.
Permasalahannya adalah, apakah debu itu kita anggap sebagai pembersih atau sebagi kotoran hati? Jika kita salah menilai, maka dosa kita anggap pahala dan sebaliknya.
Itulah dialektika, dilema, roda, yang selalu berputar dan rutin kita jumpai dalam hidup kita. Tapi itulah satu-satunya jalan untuk memahami. Itulah jalan yang harus dilalui. Anda tidak akan mampu menemukan warna abu-abu, jika belum mengetahui warna hitam dan putih. Anda tidak akan menemukan warna pelangi, jika anda tidak akan mengetahui warna merah, kuning, hijau, biru dan ungu.
Wallahu ‘alamu bisshowab