Shalawat adalah Cermin

Lailatul Ijtima’ (18) : Shawalat adalah Cermin

Dua kalimah syahadat mengajarkan kepada kita akan keberadaan Allah dan Muhammad. Kesaksian akan kedua hal tersebut dapat dibuktikan melalui berbagai rangkaian ibadah dan perilaku dalam kehidupan kita. Bahwa ketika anda disumpah dalam sebuah pengadilan menjadi saksi, maka keterangan yang anda sampaikan adalah keterangan di bawah sumpah. Kebohongan tentu akan menimbulkan tuntutan dan pidana atas pelanggaran sumpah yang diucapkan. Kesaksian harus didukung dengan pengetahuan, pengalaman dan kejujuran tentang apa yang disaksikan. Ketika anda tidak melihat, tahu tentang sebuah peristiwa, jangan sekali-kali memberi kesaksian atas peristiwa tersebut.

Demikian pula, syahadat sebagai ikrar kesaksian, maka dia membutuhkan kejujuran dan konsistensi kita akan apa yang kita ikrarkan. Maka dalam kerangka pemahaman demikianlah, seluruh aktivitas ibadah kita tujukan, yakni memperkuat kesaksian yang sudah diikrarkan. Tidak lebih dari itu.

Shalat merupakan salah satu bentuk kesaksian, bentuk pembuktian akan kebenaran kesaksian kita. Shalat berarti kita berdoa, mengharap berkah keselamatan atas kita kepada Allah. Shalat berarti bentuk latihan kita untuk semakin mendekat kepada Allah sehingga kita bisa berbisik-bisik dan mengaduh sedemikian dekat. Namun, yang demikian itu tidak mudah. Sebab Allah Maha Ghoib, sementara kita begitu besar dikendalikan oleh indrawi kita, sementara kekuatan ghoib kita, batin kita sering tumpul dan gelap untuk menyaksikanNYA.

Allah Maha Tahu akan kelemahan kita tersebut, oleh karena itu, kesaksian kedua, yakni pada Muhammad SAW sebagai rasulullah akan membantu kita untuk mencapai kesaksian keilahian (syahadat tauhid). Muhammad adalah manusia seperti kita, dari spesies manusia seperti kita. Tentu akan jauh lebih mudah memahami dan membuat kesaksian atasnya, jika dibandingkan dengan kesaksian atas Yang Maha Ghoib. Bagaimana untuk mencapai itu? Shalawat adalah kuncinya. Shalawat dalam pengertian bahasa adalah do’a, permohonan kepada Allah agar melimpahkan berkahNYA kepada Muhammad. Limpahan berkah Allah yang tumpah ruah kepada baginda Muhammad SAW, semoga juga meluber kepada kita. Demikianlah shalawat yang dipahami sebagai do’a.

Anda tidak salah memahami shalawat seperti itu. Tetapi, melalui tulisan ini, saya mencoba memahami shalawat seperti cermin (kaca benggala), wasilah (perantara) buat diri kita. Jika shalat dipahami sebagai upaya untuk mendekat kepada Allah SWT, maka shalawat juga kiranya dipahami sebagai upaya mendekat kepada Muhammad SAW. Semakin kita banyak membaca shalawat tentunya kita semakin mengenal kepada Muhammad, menjadikan beliau inspirasi, menjadikan sebagai cermin perikehidupan kita. Kita bisa belajar melaluinya, kita bisa mendekat kepada Allah SWt seperti Muhammad SAW melakukannya.

Mungkin anda sudah pernah melampaui jumlah yang sangat banyak dalam membaca shalawat, apakah shalawat nariyah, atau shalawat2 lainnya yang jumlahnya beragam dan banyak. Tetapi pertanyaanya adalah, sudah demikian banyakkah wawasan kita, pemahaman kita akan Muhammad sebanyak shalawat yang sudah kita baca dan wirid?  Ataukah justru terjebak pada kepentingan sesaat dengan atas nama “pendekatan kepada Muhammad’? padahal kita tidak dekat sama sekali.

Mungkin kita bisa berlatih, satu bacaan shalawat mengingatkan kita satu contoh sifat atau perilaku Nabi Muhammad yang kita pegang, jika 10 shalawat maka akan ada 10 contoh yang dapat kita ambil pelajaran. Maka dengan demikian, kita akan memujinya, mendedikasikan kepada beliau, “anta syamsyun anta badrun, anta nuurun fauqo nuuri...” (engkaulah matahari, engkaulah rembulan, engkaulah cahaya di atas cahaya yang menjadi penerang dan penunjuk bagi kehidupan kita, baik di saat malam/gelap ataupun terang.

Wallahu ‘alamu bisshowab