Temanku tiba-tiba datang menghampiriku dengan wajah kusut dan nampaknya mempunyai sejumlah masalah. Dia Sodron, begitu aku biasa memanggilnya. Kepadaku hanya ingin meminta nasehat atas beberapa persoalan yang sedang dihadapi.
“Kawan...” begitu ia memulai ceritanya. “Aku sudah capek, sumpek, judeg. Kenapa kok dak kaya-kaya? Padahal aku sudah rajin sholat dhuha, wirid Ya Ghoniyyu, dan lain-lainnya”.
Ahaa...dia rupanya kesal dengan riyadhoh (tirakat) yang dijalaninya belum membuahkan hasil.
“Kurang serius kali...” jawabku sekenanya. “Ah...aku sudah serius. Sudah berusaha memenuhi ketentuan2nya, syaratnya, waktunya, jumlahnya bahkan wasilahnya juga detail sudah. Khusyuk lagi. Tapi apa? Sudah lama kok dak ada hasil?”
Wah..kelihatannya serius banget (gumamku). Tidak bisa dijawab dan dijlentrehkan dengan dalil apalagi hikmah. Tanpa pikir panjang kujawab :
“ya kalau mau kaya ya belajar sama kapitalisme. Belajar sama Adam Smith atau siapa, pokoknya kapitalisme, jangan dengan tirakat begitu”.
“Ah...ya dak bisa donk. Kapitalisme kan yang melahirkan imperialisme, penjajahan. Aku tidak mau disebut sebagai penjajah dan dicatat sebagai leluhur penjajah atau antek-antek penjajah oleh anak cucuku kelak”.
Dia menolak saranku, dan masih melanjutkan persoalannya. “karena kondisi itu, aku jadi tidak tenang, hati ini gelisah terus. Apakah aku harus meneruskan riyadhohku atau berhenti dan mencari cara lain, asal tidak kapitalisme. Mungkin pesugihan...ha ha ha. Yang jelas batinku semakin tidak menentu”
Wah-wah kalau ini dituruti dengan jawaban akademis dan ilmiah bisa berantem, “wes, kalau gitu kamu belajar kebatinan, agar batinmu bisa tenang,” jawabku langsung.
“Kamu ini dak tahu aku saja. Aku ini lama belajar fiqih, belajar syariat, belajar agama, masak kamu suruh belajar kebatinan. Apa dak mengorbankan keimananku? Apa dak menjerumuskanku pada syirik? Kalau Cuma mbatin dan mbatin, lha terus kapan kayanya? Malah tidak tenang batinku”.
Dia masih saja mempersoalkan kekayaan yang jadi pokok pangkal persoalannya. “Lha terus bagaimana?”, tanyaku.
“begini lho...aku jadi tidak mengerti, persoalan datang silih berganti. Kalau diitung, enak sama tidak enaknya, masih banyak tidak enaknya. Enak dikit, datang masalah tidak enak yang buanyak. Kayak lingkaran setan, muter terus menerus...”
Dia terus menumpahkan perasaannya, kekesalannya, dan segera kupotong,”lha gimana kalau kamu belajar Budhisme, belajar dari Budha Gautam?”
“Apa???” (sambil mendelik), “kamu ini keterlaluan...mosok aku orang yang sudah sejak lahir belajar Islam suruh mempelajari Budha?, kamu nyuruh aku murtad??”
“bukan begitu bro...kamu kan ngeluh soal lingkaran kesusahan, dan di Budha mengajarkan cara mengatasi itu...kalau dak mau ya sudah...”
“lha gimana, wong dari tadi, dengan cara sholat, zikir saja kamu frustasi kok...kan siapa tahu mencoba yang lainnya bisa paham...” (pembelaanku).
“Iya..ya..tapi ya jangan sampai ke sana lah solusinya...tapi aku sendiri jadi heran kok mengapa ya, mereka yang dak beriman hidupnya enak-enak, kaya-kaya. Malah mereka yang suka maksiat atau melakukan kejahatan kok hidup makmur bergelimang harta?”
Langsung aku timpali saja, “bagaimana kalu jadi atheis sekalian?, malah sudah total itu maksiatnya. Siapa tahu hidupmu menjadi lebih makmur dan kaya raya, seperti yang kau lihat dan sangkakan?”
“Ueadan...kamu malah memberi saran yang terlalu sesat dan menyesatkan”, dia mulai tambah ngamuk. “Dari tadi sarannya kok aku disuruh keluar dari keyakinanku, agamaku?, maksudmu apa?”
“lho aku tidak bermaksud apa-apa kecuali mencba memahami dirimu. Bagaimana bisa aku memberi saran sedangkan aku tidak paham akan dirimu dan masalahmu?”
Kupikir-pikir lama-lama aku bisa berantem sama dia, soalnya dak ada yang masuk dalam pikiran dia. Semua saranku ditelan mentah-mentah. Ah semoga jurus terakhir ini bisa menghentikan dia.
“ya sudah lah. Eh kamu tadi ke sini sudah pamit sama istrimu tidak?” tanyaku. Soalnya ketika dia ke tempatku aku tahu istrinya belum pulang dari kerja.
“memang ada apa? Tanyanya. “Ini saranku terakhir ya...kamu pulang saja lah..nanti kamu temui istrimu, ajaklah dia bercinta (making love), dan bisikkan kepadanya : dik ajaklah aku ke surga...semoga kamu bisa ketemu surga. Sebab seluruh ibadahmu, tirakatmu yang kau lakukan dengan benar, Allah memberi janji surga kelak di akhirat. Jika kamu tidak sabar, maka surga istrimulah yang bisa menentramkan kegelisahanmu, bisa membantumu menguraikan masalah yang sedang kauhadapi saat ini...sebab Rasulullah Muhammad SAW pernah memberikan contoh kepada kita di saat beliau begitu guncang hatinya di gua hiro waktu pertama kalinya mendapat wahyu “Iqro’” dan kepada istrinya lah dia kembali dan itu dia dapatkan”
“oh...begitu ya???. Memang aku kurang perhatian pada istriku, aku terlalu sibuk berdoa, berzikir, sholat sehingga aku lupa padanya....oh terima kasih kawan....”
Oalaaah...Sodroooon...Sodron. Kalau gak kuat nahan ya jangan sok ditahan-tahan dengan berlindung dibalik tirakat....
Wallahu ‘alamu bisshowab