Memahami Sejarah Islam di Jawa : Damai atau Pedang?

Tulisan ini tidak mengajak anda untuk membuat vonis atas sejarah tertentu, yakni penyebaran Islam di Jawa melalui pertumpahan darah atau damai. Namun saya hanya mengajak, kepada anda menuju sebuah kesadaran pemahaman bahwa sejarah sebagai peristiwa atau cerita yang niscaya diperdebatkan. Namun demikian, ada beberapa hal yang bisa dijadikan alat atau cara dalam penelusuran mencapai sebuah “konstruksi kebenaran sejarah” tersebut.

Manusia (Pelaku, Penutur)

Sejarah tidak lepas dari pelaku. Ketika penyebaran Islam ditekankan pada teori perdagangan, maka pelaku penyebaran Islam di Jawa adalah kaum saudagar/pedagang. Namun, ketika kajian sejarah menekankan pelakunya adalah pejabat negara, seperti tentara, maka bisa jadi penyebaran Islam di Jawa dilakukan melalui, penaklukan, peperangan dan pertumpahan darah. Misalnya, ketika Kerajaan Demak berperang dengan (sisa-sisa) Majapahit, maka akan muncul sebuah konstruksi penaklukan dan peperangan penuh darah dan permusuhan.

Apalagi, ditambah dengan konstruksi masing-masing penutur, atau yang menceritakan. Misalnya ketika, sumber kisah tersebut adalah dari serat Darmogandul, maka akan muncul pertarungan sengit antara penguasa Demak dan Walisongo dengan Sabdo Palon, penerus Majapahit. Namun ketika anda menggunakan sumber lainnya, bisa jadi konstruksinya berbeda.



Waktu (Kapan)

Ketika penyebaran Islam di Jawa dicatat dan diawali pada masa pendirian kerajaan Demak (±abad 14-15), maka cerita peperangan tidak bisa dielakkan. Bagaimanapun berdirinya sebuah kerajaan baru, terlebih lagi masih ada kaitannya dengan kerajaan yang ada sebelumnya, apakah agamanya sama atau lain, tentu perebutan kekuasaan dalam suatu wilayah tidak bisa dipungkiri.

Namun ketika penyebaran Islam di Jawa ditandai dengan adanya komunitas masyarakat Islam di Leran (Gresik) (±abad 11), maka penyebaran Islam di Jawa penuh damai akan begitu jelas. Atau anda memfokuskan waktunya pada masa-masa sunan Kalijaga dalam berkeliling di tanah Jawa, tentu tak ada gambaran yang mengerikan dalam penyebaran Islam.

Ruang (Lokasi)



Demikian pula soal, ruang atau lokasi, maka akan memberikan keragaman dalam memahami sejarah. Penyebaran Islam di Kalimantan, tentu secara garis besar akan berbeda dengan di Jawa, atau dengan daerah-daerah lainnya. Demikian pula di Jawa sendiri, antara daerah Yogyakarta dibandingkan dengan di Mojokerto. Sebab, lokasi akan diikuti oleh kondisi dari lokasi itu sendiri. Apakah lokasi tersebut memang sudah ada kerajaan atau penguasa setempat atau masih berupa perkampungan kecil.



Pada akhirnya, pemahaman sejarah tidak bisa dilepaskan berbagai dimensi yang menyertainya, baik pelaku, ruang dan waktu. Itu semua akan membangun konteks tersendiri dalam setiap periwayatan sebuah sejarah, termasuk sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa. Perbedaan interpretasi sebuah keniscayaan, namun penulisan sejarah harus mengajukan sebuah bukti yang valid menyangkut pelaku, ruang dan waktu sebuah peristiwa sejarah terjadi. Sehingga akan memberikan ruang bagi kita memahami konteks serta membuat konstruksi yang adil bagi sejarah.

Wallahu ‘alamu bisshowab