Upaya untuk menyatukan umat Islam yang terdiri dari berbagai paham di Indonesia bukan tidak pernah dilakukan. Perpecahan, perdebatan antar umat Islam yang berkisar pada soal-soal furu’iyah dalam kegamaan sudah begitu besar terjadi di masarakat. Sebuah forum didirikan pada tahun 1921 di Cirebon, yaitu Kongres Al Islam.
1) Kongers Al Islam pertama (di Cirebon) dipimpin langsung oleh HOS Tjokroaminoto dan dibantu oleh H. Agus Salim. Dalam kongres ini tidak dihasilkan sebuah perdamaian atau persatuan yang diharapkan. Boleh dikatakan sis-sia sebagai upaya penyatuan umat Islam di Indonesia. Perdebatan antara kelompok tradisional (KH Abdul Wahab Hasbullah serta KH R Asnawi) dan pembaharu (Ahmad Soorkatti). Namun demikian dalam kongres tersebut diputuskan adanya pembentukan Centra Comitte Al- Islam (CCI)-sebuah panitia khusus untuk menangani soal khilafiyah yang anggotanya terdiri dari berbagai kelompok. Ketua saat itu ditunjuk Soeroso, tokoh Syarikat Islam Garut.
2) Kongres Al Islam kedua, diadakan di Garut. Perdebatan dan perselisihan tidak mereda, tetapi semakin tajam dan panas, karena adanya perisitiwa-peristiwa di luar negeri (Timur Tengah khusunya) yang ikut mempengaruhinya. Perkembangan politik kekhilafahan dan isu pembaharuan ajaran Islam di sana semakin membakar perselisihan tersebut.
Tahun 1922 Khalifah Wahidudin (Muhammad VI) diusir dari Istambul oleh pemerintahan Mustafa Kemal Pasya, diganti oleh Abdul Majid, yang hendak dijadikan boneka Mustafa. Ternyata Abdul Majid menjalin hubungan rahasia dengan pihak-pihak luar negeri yang kemudian terbongkar oleh Mustafa. Maka diusirlah Abdul Majid oleh Mustafa, dan peristiwa ini menggemparkan dunia Islam. Sementra Raja Hijaz, Syarief Husein mendapat peluang untuk menjadikan dirinya menjadi Khalifah dan mengembalikan khalifah di Mekkah. Namun usahanya tidak mudah, selain masih lemahnya persatuan umat Islam di beberapa wilayah Timur Tengah, juga karena adanya gerakan Wahabi yang menilai Syarif Husein sebagai pelestari ajaran bid’ah yang buruk. Dengan dukungan Ibnu Sa’ud, gerakan Wahabi melakukan penyerangan dan pertempuran dengan Raja Husein.
Di tengah krisis peperangan di tanah Hijaz tersebut, ide tentang Kekhilafahan, juga muncul di Mesir, dimana ulama al Azhar memandang bahwa kekhilafahan sangat perlu, seperti pada zaman tempo dulu. Raja Mesir, Fu’ad yang ditawari untuk menjadi Khalifah kurang menanggapi ide tersebut. Sebagai respon bijaksana atas persoalan tersebut, maka Fu’ad memberikan saran diadakannya Muktamar Dunia Islam untuk membincangkan soal Khilafat. Langkah ini dinilai sangat bijaksana, karena persoalan khilafat tidak dijadikan kepentingan raja pribadi, tetapi menjadi pembahasan dan kesepakatan umat Islam se dunia. Rencananya Muktamar tersebut diadakan di bulan Maret 1924 di Kairo.
3) Kongres Al Islam ketiga, di Surabaya 24-26 Desember 1924), lebih memfokuskan pada persoalan khilafat yang sedang menjadi isu dan persoalan serius di dunia Islam. Dalam kongres tersebut dibentuk sebuah komite khusus masalah khilafat- Central Comite Chilafat (CCC). Anggotanya terdiri dari berbagai organsiasi Islam dan diketuai dengan W. Wondosoedirjo (SI). Keputusan penting kongres ini adalah (a) masalah khilafat harus dipegang oleh “Majelis Ulama” dan berpusat di Makkah. (b) utusan yang diutus ke Muktamar Dunia Islam di Kairo adalah KH. Fachrudin (Muhammadiyah), Surjopranoto (Syarikat Islam), dan KH. Abdul Wahab Hasubullah (atas nama : Ketua Perkumpulan Agama di Surabaya- NU belum lahir). Selain itu ada lagi, yakni HOS Tjokroaminoto dan Ahmad Soorkatti. Karena situasi di Mesir berubah dan tidak kondusif, Muktamar Dunia Islam tidak bisa dilaksanakan pada tahun 1925, diundur sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Selanjutnya persoalan peperangan antara Ibnu Sa’ud (didukung oleh Wahaby) dengan Syarif Husein dan anaknya Syarief Ali selalu menjadi perbincangan hangat dalam CCC.
4) Kongres Al Islam keempat di Yogyakarta 21-27 Agustus 1925 KH Abdul Wahab Hasbullah buru menyampaikan pendapatnya tentang adanya Rencana Muktamar Alam Islami di Mekkah (ini berbeda dengan Muktamar Dunia Islam yang rencananya di Kairo sebelumnya yang sudah gagal). Pendapat KH Abdul Wahab Hasbullah adalah : CCC yang akan dikirim ke Mekkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab. Sistem madzhab yang selama ini berlaku di tanah Hijaz harus dipertahankan dan diberi kebebasan. Usul ini memang didasari atas beberapa hal sebelumnya. Kemenangan Ibnu Sa’ud atas Syarif Ali telah menjadikannya sebagai Raja di Tanah Hijaz dan dikabarkan telah melakukan pembatasan dan pelarangan tradisi bermadzhab (tentu ini dikarenakan Ibnu Sa’ud berusaha membangun madzhab sendiri yang harus diterima oleh seluruh umat Islam di dunia).
5) Kongres Al Islam kelima, diadakan di Bandung Februari 1926 diadakan lagi, berbarengan adanya undangan dari Raja Ibnu Sa’ud dalam Muktamar Alam Islami di Mekkah. Sekali lagi, KH Abdul Wahab Hasbullah menyampaikan usul dan pendapatnya soal desakan kepada Raja Ibnu Sa’ud agar memberikan kebebasan bermadzhab. Namun, apa daya para tokoh CCC kurang memperhatikan pendapat tersebut.
Inilah titik klimak kekecewaan KH Abdul Wahab Hasbullah terhadap keberadaan CCC.
Atas sikap KH Abdul Wahab Hasbullah ini perlu dicatat beberapa hal penting, yaitu (a) beliau tidak terlalu mempersoalkan siapakah nanti yang akan menjadi utusan CCC, keterwakilan menjadi syarat mutlak dalam delegas, (b) demikian persoalan khilafah, siapapun yang jadi khilafah diserahkan pada hasil muktamar nantinya (c) dan ini yang terpenting dan mendasar dari sikap dan usulan beliau, bahwa kebebasan bermadzhab adalah menjadi hal mendasar dari semua itu. Ketika ide usulan kebebasan bermadzhab ini kurang mendapat perhatian serius dari kalangan tokoh Islam di Indonesia waktu itu, maka kemudian KH Abdul Wahab Hasbullah membentuk panitia sendiri, yakni Komite Hijaz. Komite inilah yang nantinya menjelma menjadi Nahdlotul Ulama.
Dari uraian sejarah tersebut di atas, maka perlu ditegaskan bahwa keterlibatan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam panitia kekhilafahan, bukan menunjukkan adanya hasrat atau nafsur dari beliau dan ulama para pendahulu NU untuk mendirikan Khilafah. Persoalan khilafat dalam konteks sejarah masa itu adalah sebuah kebutuhan yang dirasakan bersama oleh umat Islam dunia, akibat jatuh dan terusirnya Khilafah di Istanbul, Turki. Dalam konteks sejarah Indonesia, maka keterlibatan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam komite khilafat adalah sebuah kosekuensi kesejarahan dalam keanggotaannya dalam CCI/kongres Al Islam, dan persaoalan kekinian saat itu adalah persoalan khilafat yang sedang jadi isu internasional.
Sekali lagi, persoalan mempertahankan tradisi bermadzhab dalam beragama, dan tradisi ilmiah dalam ilmu agama, menjadi hal yang lebih utama, daripada persoalan politik seperti khilafat. Inilah bukti bahwa para pendiri dan pendahulu NU sudah melakukan perjuangan menjaga tradisi ilmiah dalm beragama serta memegang tradisi bermadzhab sebagai upaya menjaga kemurnian Islam yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui para ulama sebagai pewarisnya. Jadi para ulama pendiri NU bukanlah ulama yang haus jabatan, bahkan dalam sistem kekhalifahan yang mungkin saat itu bisa saja terwujud.
*) diambil dari berbagai referensi.
Wallahu ‘alamu bisshowab